Rabu, 15 Februari 2017

Disetubuhi Anak Kecil

Namaku Veronika. Aku adalah seorang ibu rumah tangga. Usiaku 42 tahun. Suamiku namanya Prasetyo, umur 47 tahun, seorang pegawai pemerintahan di kota B. Aku bahagia dengan suami dan kedua anakku. Suamiku seorang laki-laki yang gagah dan bertubuh besar, biasalah dulu dia seorang tentara. Penampilanku sendiri walaupun sudah berumur tapi sangat terawat karena aku rajin ke salon, fitnes dan yoga. Kata orang, aku mirip seperti Donna Harun. Tubuhku masih bisa dikatakan langsing, walaupun payudaraku termasuk besar karena sudah punya anak 2.




Anakku yang pertama bernama Rika, seorang gadis remaja yang beranjak dewasa. Dia baru saja masuk ke PTN Favorit. Yang kedua namanya Sangga, masih sekolah SMA kelas 2. Si Rika walaupun tinggal serumah dengan kami tapi lebih sering menghabiskan waktu di tempat kosnya di kawasan Gejayan. Kalau si Sangga, karena cowok remaja, lebih sering berkumpul dengan teman-temannya atau pun sibuk berkegiatan di sekolahnya.

Semenjak tidak lagi sibuk mengurusi anak-anak, kehidupan sex ku semakin tua justru semakin menjadi-jadi. Apalagi suamiku selain bertubuh kekar, juga orang yang sangat terbuka soal urusan sex. Akhir-akhir ini, setelah anak-anak besar, kami berlangganan internet. Aku dan suamiku sering browsing masalah-masalah sex, baik video, cerita, atau pun foto-foto. Segala macam gaya berhubungan badan kami lakukan.

Kami bercinta sangat sering, minimal seminggu 3 kali. Entah mengapa, semenjak kami sering berseluncur di internet, gairah seksku semakin menggebu. Sebagai pejabat, suamiku sering tidak ada di rumah, tapi kalau pas di rumah, kami langsung main kuda-kudaan, hehehe.

Sudah lama kami memutuskan untuk tidak punya anak lagi. Tapi aku sangat takut untuk pasang spiral. Dulu aku pernah mencoba suntik dan pil KB. Tapi sekarang kami lebih sering pakai kondom, atau lebih seringnya suamiku ‘keluar’ di luar. Biasanya di mukaku, di payudara, atau bahkan di dalam mulutku. Pokoknya kami sangat hati-hati agar Sangga tidak punya adik lagi. Dan tenang saja, suamiku sangat jago mengendalikan muncratannya, jadi aku tidak khawatir dia muncrat di dalam rahimku.

Sebagai wanita berumur, tubuhku termasuk sintal dan seksi. Payudaraku memang sudah agak melorot, tapi tentu saja lumrah seperti itu karena ukurannya yang memang termasuk besar. Tapi yang jelas, bodiku masih semlohai karena aku masih punya pinggang walapun pantatku termasuk besar. Aku sadar, kalau tubuhku masih tetap sanggup membuat para pria menelan air liurnya. Apalagi aku termasuk ibu-ibu yang suka pakai baju yang agak ketat. Sudah kebiasaan sih dari remaja. Apalagi sekarang susuku tambah besar.

Suamiku termasuk seorang pejabat yang baik. Dia ramah pada setiap orang. Di kampung dia termasuk aparat yang disukai oleh para tetangga. Apalagi suamiku juga banyak bergaul dengan anak-anak muda kampung. Kalau pas di rumah, suamiku sering mengajak anak-anak muda untuk bermain dan bercakap-cakap di teras rumah.

Semenjak setahun yang lalu, di halaman depan rumah kami dibangun semacam gazebo untuk nongkrong para tetangga. Setelah membeli televisi baru, televisi lama kami taruh di gazebo itu sehingga para tetangga betah nongkrong di situ. Yang jelas, banyak bapak-bapak yang curi-curi pandang ke tubuhku kalau pas aku bersih-bersih halaman atau ikutan nimbrung sebentar di tempat itu. Maklumlah, aku khan ibu-ibu yang semlohai, hehehe.

Selain bapak-bapak, ada juga pemuda dan remaja yang sering bermain di rumah. Salah satunya karena gazebo itu juga dipergunakan sebagai perpustakaan untuk warga. Salah satu anak kampung yang paling sering main ke rumah adalah Eki, yang masih SMP kelas 2. Dia anak tetangga kami yang berjarak 3 rumah dari tempat kami. Anaknya baik dan ringan tangan. Sama suamiku dia sangat akrab, bahkan sering membantu suamiku kalau lagi bersih-bersih rumah, atau membelikan kami sesuatu di warung. Sejak masih anak-anak, Eki dekat dengan anak-anak kami, mereka sering main karambol bareng di gazebo. Bahkan kadang-kadang Eki menginap di situ, karena kalau malam gazebo itu diberi penutup oleh suamiku, sehingga tidak terasa dingin.

Pada suatu malam, aku dan suamiku sedang bermesraan di kamar kami. Semenjak sering melihat adegan blowjob di internet, aku jadi kecanduan mengulum kontol suamiku. Apalagi kontol suamiku adalah kontol yang paling gagah sedunia bagiku. Tidak kalah dengan kontol-kontol yang biasa kulihat di BF. Padahal dulu waktu masih manten muda aku selalu menolak kalau diajak blowjob. Entah kenapa sekarang di usia yang sudah lebih 42, aku justru tergila-gila mengulum batang suamiku. Bahkan aku bisa orgasme hanya dengan mengulum batang besar itu. Tiap nonton film blue pun mulutku serasa gatal. Kalau pas tidak ada suamiku, aku selalu membawa pisang kalau nonton film-film gituan. Biasalah, sambil nonton sambil makan pisang, hehehe.

Malam itu pun aku dengan rakus menjilati kontol suamiku. Bagi mas Prasetyo, mulutku adalah tempik keduanya. Dengan berseloroh, dia pernah bilang kalau sebenarnya dia sama saja sudah poligami, karena dia punya dua lubang yang sama-sama hotnya untuk dimasuki. Ucapan itu ada benarnya, karena mulutku sudah hampir menyerupai tempik, baik dalam mengulum maupun dalam menyedot. Karena kami menghindari kehamilan, bahkan sebagian besar sperma suamiku masuk ke dalam mulutku.

Malam itu kami lupa kalau Eki tidur di gazebo depan. Seperti biasa, aku teriak-teriak pada waktu kontol suamiku mengaduk-aduk isi memekku. Suamiku sangat kuat. Malam itu aku sudah berkali-kali orgasme, sementara suamiku masih segar bugar dan menggenjotku terus-menerus. Tiba-tiba kami tersentak ketika kami mendengar suara berisik di jendela.
Segera suami mencabut batangnya dan membuka jendela. Di luar nampak Eki dengan wajah kaget dan gemetaran ketahuan mengintip kami. Suamiku nampak marah dan melongokkan badannya keluar jendela. Eki yang kaget dan ketakutan meloncat ke belakang. Saking kagetnya, kakinya terantuk selokan kecil di teras rumah. Eki terjerembab dan terjungkal ke belakang. Suamiku tak jadi marah, tapi dia kesal juga.

“Walah, Ndun! Kamu itu ngapain?” bentaknya.

Eki ketakutan setengah mati. Dia sangat menghormati kami. Suamiku yang tadinya kesal pun tak jadi memarahinya. Eki gelagepan. Wajahnya meringis menahan sakit, sepertinya pantatnya terantuk sesuatu di halaman.

Aku tadinya juga sangat malu diintip anak ingusan itu. Tapi aku juga menyayangi Eki, bahkan seperti anakku sendiri. Aku juga sadar, sebenarnya kami yang salah karena bercinta dengan suara segaduh itu. Aku segera meraih dasterku dan ikut menghampiri Eki.

“Aduh, mas. Kasian dia, gak usah dimarahin. Kamu sakit Ndun?” Aku mendekati Eki dan memegangi tangannya. Wajah

Eki sangat memelas, antara takut, sakit, dan malu.

“Sudah gak papa. Kamu sakit, Ndun?” tanyaku. “Sini coba kamu berdiri, bisa gak?”

Karena gemeteran, Eki gagal mencoba berdiri, dia malah terjerembab lagi. Secara reflek, aku memegang punggungnya, sehingga kami berdua menjadi berpelukan. Dadaku menyentuh lengannya, tentu saja dia dapat merasakan lembutnya gundukan besar dadaku karena aku hanya memakai daster tipis yang sambungan, sementara di dalamnya aku tidak memakai apa-apa lagi.

“Aduh sorri, Ndun,” pekikku.

Tiba-tiba suamiku tertawa. Agak kesal aku meliriknya, kenapa dia menertawai kami? “Aduh, Mas ini. Ada anak jatuh kok malah ketawa,”

“Hahaha.. lihat itu, Dik. Si Eki ternyata udah gede, hahaha…” kata suamiku sambil menunjuk selangkangan Eki.

Weitss… ternyata mungkin tadi Eki mengintip kami sambil mengocok, karena di atas celananya yang agak melorot, batang kecilnya terlihat mencuat ke atas. Kontol kecil itu terlihat sangat tegang dan berwarna kemerah-merahanan. Malu juga aku melihat adegan itu, apalagi si Eki. Dia tambah gelagepan.

“Hussh, Mas. Kasihan dia, udah malu tuh,” kataku yang justru menambah malu si Eki.
“Kamu suka lihat barusan, Ndun? Wah, hayooo… kamu nafsu ya lihat Bu Veronika?” goda suamiku. Dia malah ketawa-ketawa sambil berdiri di belakangku.

Tentu saja wajah Eki jadi tambah memerah, walaupun tetap saja kontol kecilnya tegak berdiri. Kesal juga aku sama suamiku. Udah gak menolonng malah menertawakan anak ingusan itu.

“Huh, Mas… mbok jangan godain dia, mbok tolongin nih, angkat dia!”
“Lha dia khan udah berdiri.. ya tho, Ndun? Wakakak,” kata suamiku.

Aku sungguh tidak tega melihat muka anak itu yang merah padam karena malu. Aku segera berdiri mengangkang di depannya dan memegangi dua tangannya untuk menariknya berdiri. Berat juga badannya. Kutarik kuat-kuat, akhirnya dia terangkat juga. Tapi baru setengah jalan, mungkin karena dia masih gemetar dan aku juga kurang kuat, tiba-tiba justru aku yang jatuh menimpanya.

Ohhh… aku berusaha untuk menahan badanku agar tidak menindih anak itu, tapi tanganku malah menekan dada Eki dan membuatnya jatuh terlentang sekali lagi. Bahkan kali ini, aku ikut jatuh terduduk di pangkuannya. Dan… ohhhh!

Sleppp… terasa sesuatu masuk tepat di tempikku.

Waah…!! Aku tersentak dan sesaat bingung apa yang terjadi, begitu juga dengan Eki, wajahnya nampak sangat ketakutan. “Aduuuhhh!” teriakku. Sementara suamiku justru tertawa melihat kami jatuh lagi.

Tiba-tiba aku sadar apa yang masuk tepat di lobang tempikku, ternyata kontol kecil si Eki! Kontol itu dengan mudah masuk ke tempikku karena di samping tempikku masih basah sisa persetubuhanku dengan suamiku, juga karena aku tidak mengenakan apa-apa di balik daster pendekku.

Ohhhhh… apa yang terjadi? pikirku. Mungkin juga karena kontol Eki yang masih imut dan lobang tempikku yang biasa digagahi kontol besar suami, jadinya sangat mudah diselipin batang kecil itu.

“Ohhh.. Masss?!!” desisku pada suamiku. Kali ini suamiku berhenti tertawa dan agak mendongal kaget.
“Kenapa, Dek?” tanyanya heran.

Kami bertiga sama-sama kaget, suamiku nampaknya juga menyadari apa yang terjadi. Dia mendekati kami, dan melihat bahwa batang Eki sudah amblas di lobang tempikku. Beberapa saat kami bertiga terdiam bingung dengan apa yang terjadi. Aku merasakan kontol Eki berdenyut-denyut di dalam lobangku. Lobangku juga segera meresponnya, mengingat rasa tanggung setelah persetubuhanku dengan suamiku yang tertunda.

Aku mencoba bangkit, tapi entah kenapa, kakiku jadi gemetar dan kembali selangkanganku menekan tubuh si Eki. Tentu saja kontolnya kembali menusuk lobangku. Ohhh… aku merasakan sensasi yang biasa kutemui kala sedang bersetubuh.

“Ohhh…” desisku.
“Ahhh…” Eki ikut terpekik tertahan. Wajahnya memerah. Tapi aku merasakan pantatnya sedikit dinaikkan merespon selangkanganku.

Slepppp…!! kembali kontol itu menusuk ke dalam lobangku. Yang mengherankan, suamiku diam saja, entah karena dia kaget atau apa. Hanya aku lihat wajahnya ikut memerah dan sedikit membuka mulutnya, mungkin bingung juga untuk bereaksi dengan situasi aneh ini.

Aku diam saja menahan napas sambil menguatkan tanganku yang menahan tubuhku. Tanganku berada di sisi kanan dan kiri si Eki. Sementara Eki dengan wajah merah padam menatap mukaku dengan panik. Agak mangkel juga aku lihat mukanya, panik, takut, tapi kok kontolnya tetap tegang di dalam tempikku. Dasar anak mesum, pikirku.

Tapi aneh juga, aku justru merasakan sensasi yang luar biasa dengan adanya kontol anak yang sudah kuanggap saudaraku sendiri itu di dalam tempikku. Agak kasihan juga melihat mukanya, dan juga muncul rasa sayang. Pikirku, kasihan juga anak ini, dia sangat bernafsu mengintip kami, dan juga apalagi yang dikawatirkan, karena kontolnya sudah terlanjur menusuk ke dalam tempikku.

Aku melirik suamiku sambil tetap duduk di pangkuan si Eki. Suamiku tetap diam saja. Agak kesal juga aku lihat respon mas Prasetyo. Tiba-tiba pikiran nakal menyelimuti. Kenapa tidak kuteruskan saja persetubuhanku dengan Eki, toh kontolnya sudah menancap di tempikku. Apalagi kalau lihat muka hornynya yang sudah di ubun-ubun, kasihan lihat Eki kalau tidak diteruskan.

Dengan nekat aku pun kembali menekan pantatku ke depan. Tempikku meremas kontol Eki di dalam.
Merasakan remasan itu, Eki terpekik kaget. Suamiku mendengus kaget juga.

“Dik, a-a-apa yang kau lakukan?” kata suamiku gagap.

Aku diam saja, hanya saja aku mulai menggoyang pantatku maju mundur.

Suamiku melongo sekarang. Wajahnya mendekat melihat mukaku setengah tak percaya. Eki tidak berani melihat suamiku.

Dia menatap wajahku keheranan dan penuh nafsu.

“Mas… aku teruskan saja ya, kasihan si Eki. Apalagi khan sudah terlanjur masuk, toh sama saja…” bisikku berani.

Aku tak bisa lagi menduga perasaan suamiku. Kecelakaan ini benar-benar di luar perkiraan kami semua. Tapi suamiku memegang pundakku, yang kupikir mengijinkan kejadian ini. Entah apa yang ada di pikiranku, aku tiba-tiba sangat ingin menuntaskan nafsu si Eki.

“Ahh… hh.. hh… ughh!!” Si Eki mengerang-erang sambil tetap berbaring di rerumputan di halaman rumah kami.

Kembali aku memaju-mundurkan pantatku sambil meremas-remas kontol kecil itu di dalam lobangku. Remasanku selalu bikin suamiku tak tahan karena aku rajin ikut senam. Apalagi ini si Eki, anak ingusan yang tidak berpengalaman.

Tiba-tiba, karena sensasi yang aneh ini, aku merasakan orgasme di dalam vaginaku. Jarang aku orgasme secepat itu. Aku merintih dan mengerang sambil memegang erat lengan suamiku. Banjir mengalir dalam lobangku. Otomatis remasan dalam tempikku menguat, dan kontol kecil si Eki dijepit dengan luar biasa.

Eki meringis dan mengerang. Pantatnya melengkung naik dan… crooooott-crooooott-crooooott…!! Cairan panasnya meledak membanjiri rahimku.

Aku seperti hilang kendali, semua tiba-tiba gelap dan aku diserbu oleh badai kenikmatan… Ohh, aku terkulai lemas sambil menunduk menahan tubuhku dengan kedua tangan. Nafasku terengah-engah tidak karuan. Sejenak aku diam tak tahu harus bagaimana.

Aku dan suamiku saling berpandangan. “Dik, I-Eki gak p-pakai kondom.” kata suamiku terbata-bata.
Kami sama-sama kaget menyadari bahwa percintaan itu tanpa pengaman sama sekali, dan aku telah menerima banyak sekali sperma dalam rahimku, sperma si anak ingusan. Ohh… tiba-tiba aku sadar akan risiko dari persetubuhan ini. Aku dalam masa subur, dan sangat bisa jadi aku bakalan mengandung anak dari Eki, bocah SMP yang masih ingusan. Oohhhh…

Pelan-pelan aku berdiri dan mencabut kontol Eki dari tempikku. Kontol itu masih setengah berdiri dan berkilat basah oleh cairan kami berdua. Aku dan suamiku menghela nafas. Cepat-cepat aku memperbaiki dasterku. Dengan gugup, Eki juga menaikkan celananya dan duduk ketakutan di rerumputan.

“Ma-ma’af, Bu..” akhirnya keluar juga suaranya.

Aku menatap Eki dengan wajah seramah mungkin. Suamiku yang akhirnya pegang peranan.

“Sudahlah, Ndun. Sana kamu pulang, mandi dan cuci-cuci!” perintahnya tegas.

“Iya, om. Ma-maaf ya, Om,” kata Eki sambil menunduk.

Segera dia meluncur pergi lewat halaman samping.

“Masuk!” suamiku melihat ke arahku dengan suara agak keras.

Gemetar juga aku mendengar suamiku yang biasanya halus dan mesra padaku. Aduuh, apa yang akan terjadi?
Kami berdua masuk ke rumah, aku tercekat tidak bisa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba pikiran-pikiran buruk menderaku, jangan-jangan suamiku tak memaafkanku. Ohh, apa yang bisa kulakukan?

Di dalam kamar tangisanku pecah. Aku tak berani menatap suamiku. Selama ini aku adalah istri yang setia dan bahagia bersama suamiku, tapi malam ini… tiba-tiba aku merasa sangat-sangat kotor dan hina. Agak lama suamiku membiarkanku menangis. Pada akhirnya dia mengelus pundakku.

“Sudahlah bu, ini khan kecelakaan.” katanya.

Hatiku sangat lega. Aku menatap suamiku, dan mencium bibirnya. Tiba-tiba aku menjadi sangat takut kehilangan dia. Kami berpelukan lama sekali.

“Tapi, mas… kalau aku hamil… gimana?” tanyaku memberanikan diri.
“Ah.. mana mungkin, dia khan masih ingusan. Dan kalau pun Dik Idah hamil, khan gak papa, si Sangga juga sudah siap kalau punya adik lagi,” kata suamiku.

Jawaban itu sedikit menenangkan hatiku. Akhirnya kami bercinta lagi. Kurasakan suamiku begitu mengebu-gebu mengerjaiku. Apa yang ada di pikirannya, aku tak tahu, padahal dia barusan saja melihat istrinya disetubuhi anak muda ingusan. Sampai-sampai aku kelelehan melayani suamiku. Pada orgasme yang ketiga aku pun menyerah.

“Mas, keluarin di mulutku saja ya… aku tak kuat lagi,” bisikku pada orgasme ketigaku ketika kami dalam posisi doggy.

Suamiku mengeluarkan kontolnya dan menyorongkannya ke mulutku. Sambil terbaring aku menyedot-nyedot kontol besar itu. Sekitar setengah jam kemudian, mulutku penuh dengan sperma suamiku. Dengan penuh kasih sayang aku menelan semua cairan kental itu.

Hari-hari selanjutnya berlalu dengan biasa. Aku dan suamiku tetap dengan kemesraan yang sama. Kami seolah-olah melupakan kejadian malam itu. Hanya saja, Eki belum berani main ke rumah. Agak kangen juga kami dengan anak itu. Sebenarnya rumah kami dekat dengan rumah Eki, tapi aku juga belum berani untuk melihat keadaan anak itu. Hanya saja aku masih sering ketemu ibunya, dan sering iseng-iseng nanya keadaan Eki. Katanya sih dia baik-baik saja, hanya sekarang lagi sibuk persiapan mau naik kelas 3 SMP.

Seminggu sebelum bulan puasa, Eki datang ke rumah mengantarkan selamatan keluarganya. Wajahnya masih kelihatan malu-malu ketemu aku. Aku sendiri dengan riang menemuinya di depan rumah.

“Hai, Ndun, kok kamu jarang main ke rumah?” tanyaku.
“Eh.. iya, bu. Gak papa kok, Bu,” jawabnya sambil tersipu.
“Bilang ke mamamu, makasih ya,”
“Iya, bu,” jawab Eki dengan canggung. Dia bahkan tak berani menatap wajahku.

Entah kenapa aku merasa kangen sekali sama anak itu. Padahal dia jelas masih anak ingusan, dan bukan type-type anak SMP yang populer dan gagah kayak yang jago-jago main basket. Jelas si Eki tidak terlalu gagah, tapi ukuran sedang untuk anak SMP. Hanya badannya memang tinggi.

“Ayo masuk dulu. Aku buatin minum ya,” ajakku.

Eki tampak masih agak malu dan takut untuk masuk rumah kami. Siang itu suamiku masih dinas ke Kulonprogo. Anak-anak juga tidak ada yang di rumah. Kami bercakap-cakap sebentar tentang sekolahnya dan sebagainya. Sekali-kali aku merasa Eki melirik ke badanku. Wah, gak tahu kenapa, aku merasa senang juga diperhatiin sama anak itu. Waktu itu aku mengenakan kaos agak ketat karena barusan ikut kelas yoga bersama ibu-ibu Candra Kirana. Tentunya dadaku terlihat sangat menonjol.

Akhirnya tidak begitu lama, Eki pamit pulang. Dia kelihatan lega sikapku padanya tidak berubah setelah kejadian malam itu.

Hingga pada bulan selanjutnya, aku tiba-tiba gelisah. Sudah hampir lewat dua minggu aku belum datang bulan. Tentu saja kejadian waktu itu membuatku bertambah panik. Gimana kalau benar-benar jadi? Aku belum berani bilang pada Mas Prasetyo. Untuk melakukan test saja aku sangat takut. Takutnya kalau positif.

Hingga pada suatu pagi aku melakukan test kehamilan di kamar mandi. Dan, deg! Hatiku seperti mau copot. Lembaran kecil itu menunjukkan kalau aku positif hamil.
Oh, Tuhan!!

Aku benar-benar kaget dan tak percaya. Jelas ini bukan anak suamiku. Kami selalu bercinta dengan aman. Dan jelas sesuai dengan waktu kejadian, ini adalah anak Eki, si anak SMP yang belum cukup umur. Aku benar-benar bingung.
Seharian aku tidak dapat berkonsentrasi. Pikiranku berkecamuk tidak karuan. Bukan saja karena aku tidak siap untuk punya anak lagi, tapi juga bagaimana reaksi suamiku bahwa aku hamil dari laki-laki lain. Itulah yang paling membuatku bingung.

Hari itu aku belum berani untuk memberi tahu suamiku. Dua hari berikutnya, justru suamiku yang merasakan perbedaan sikapku.

“Dik Idah, ada apa? Kok sepertinya kurang sehat?” tanyanya penuh perhatian.

Waktu itu kami sedang tidur bedua. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Yang kulakukan hanya memeluk suamiku erat-erat. Suamiku membalas pelukanku.

“Ada apa sayang?” tanyanya. Badan kekarnya memelukku mesra. Aku selalu merasa tenang dalam pelukan laki-laki perkasa itu.

Aku tidak berani menjawab. Suamiku memegang mukaku, dan menghadapkan ke mukanya. Sepertinya dia menyadari apa yang terjadi. Sambil menatap mataku, dia bertanya,

“Benarkah?”

Aku mengangguk pelan sambil menangis,

“Aku hamil, mas…”

Jelas suamiku juga kaget. Dia diam saja sambil tetap memelukku. Lalu dia menjawab singkat,

“Besok kita ke dokter Merlin.”

Aku mengangguk, lalu kami saling berpelukan sampai pagi tiba.

Hari selanjutnya, sore-sore kami berdua menemui dokter Merlin. Setelah dilakukan test, dokter cantik itu memberi selamat pada kami berdua.

“Selamat, Pak dan Bu Prasetyo. Anda akan mendapatkan anak ketiga,” kata dokter itu riang.
Kami mengucapkan terimakasih atas ucapan itu, dan sepanjang jalan pulang tidak berkata sepatah kata pun.

Setelah itu suamiku tidak menyinggung masalah itu lagi, bahkan dia memberi tahu pada anak-anak kalau mereka akan punya adik baru. Anak-anak ternyata senang juga karena sudah lama tidak ada anak kecil di rumah. Bagi mereka, adik kecil akan menyemarakkan rumah yang sekarang sudah tidak lagi ada suara anak kecilnya.

Malamnya, setelah tahu aku hamil, suamiku justru menyetubuhiku dengan ganas. Aku tidak tahu apakah dia ingin agar anak itu gugur atau karena dia merasa sangat bernafsu padaku. Yang jelas aku menyambutnya dengan tak kalah bernafsu. Bahkan kami baru tidur menjelang jam 3 dini hari setelah sepanjang malam kami bergelut di atas kasur. Aku tidak tahu lagi bagaimana wujud mukaku malam itu karena sepanjang malam mulutku disodok-sodok terus oleh kontol suamiku, dan dipenuhi oleh muncratan spermanya yang sampai tiga kali membasahi muka dan mulutku.

Aku hampir tidak bisa bangun pagi harinya karena seluruh tubuhku seperti remuk dikerjain suamiku. Untungnya esok itu hari libur, jadi aku tidak harus buru-buru menyiapkan sekolah anak-anak.

Hari-hari selanjutnya berlalu dengan luar biasa. Suamiku bertambah hot setiap malam. Aku juga selalu merasa horny. Wah, beruntung juga kalau semua ibu-ibu ngidamnya kontol suami seperti kehamilanku kali ini. Hamil kali ini betul-betul beda dengan kehamilanku sebelumnya yang biasanya pakai ngidam gak karuan. Hamil kali ini justru aku merasa sangat santai dan bernafsu birahi tinggi.

Setiap malam tempikku terasa senut-senut, ada atau tak ada suamiku. Kalau pas ada ya enak, aku tinggal naik dan goyang-goyang pinggang. Kalau pas gak ada, aku yang jadi kebingungan dan akhirnya mencari-cari film-film porno di internet. Sesudah itu pasti aku mainin tempekku pakai pisang, yang jadi langgananku di pasar setiap pagi, hehehe.
Yang jadi masalah adalah perlukah aku memberi tahu si Eki bahwa aku hamil dari benihnya? Aku tidak berani bertanya pada suamiku. Dia mendukung kehamilanku saja sudah sangat membahagiakanku. Aku menjadi bahagia dengan kehamilan ini. Di luar dugaanku, ternyata kami sekeluarga sudah siap menyambut anggota baru keluarga kami. Itulah hal yang sangat aku syukuri.

Pas bulan puasa, tiba-tiba suamiku melakukan sesuatu yang mengherankan. Dia mengajak Eki untuk membantu bersih-bersih rumah kami. Tentu saja aku senang karena suamiku sudah bisa menerima kejadian waktu itu. Aku senang melihat mereka berdua bergotong-royong membersihkan halaman dan bagian dalam rumah.

Eki dan Mas Prasetyo nampak sudah bersikap biasa sebagaimana sebelum kejadian malam itu. Bahkan sesekali Eki kembali menginap di gazebo kami, karena kami merasa sepi juga tanpa kehadiran anak-anak. Si Rika semakin sibuk dengan urusan kampusnya, sementara si Sangga hanya pada malam hari saja menunjukkan mukanya di rumah.
Semenjak itu, suasana di rumah kami menjadi kembali seperti sediakala. Tetap saja gazebo depan rumah sering ramai dikunjungi orang. Cuma sekarang Eki tidak pernah lagi menginap di sana. Mungkin karena hampir ujian, jadi dia harus banyak belajar di rumah.

Beberapa bulan kemudian, tubuhku mulai berubah. Perutku mulai terlihat membuncit. Kedua payudara membesar. Memang kalau hamil, aku selalu mengalami pembengkakan pada kedua payudaraku. Hormonku membuatku selalu bernafsu.
Mas Prasetyo pun seolah-olah ikut mengalami perubahan hormon. Nafsu seksnya semakin menggebu melihat perubahan di tubuhku. Kalau pas di rumah, setiap malam kami bertempur habis-habisan. Gawatnya, payudaraku yang memang sebelumnya sudah besar menjadi bertambah besar. Semua bra yang kucoba sudah tidak muat lagi, padahal bra yang kupakai adalah ukuran terbesar yang ada di toko. Kata yang jual, aku harus pesan dulu untuk membeli bra yang pas di ukuran dadaku sekarang.

Akhirnya aku nekat kalau di rumah jarang memakai bra. Kecuali kalau keluar, itupun aku menjadi tersiksa karena pembengkakan payudaraku. Aku menjadi seperti mesin seks. Dadaku besar dan pantatku membusung. Seolah tak pernah puas dengan bercinta setiap malam. Suamiku mengimbangiku dengan nafsunya yang juga bertambah besar.

Eki akhirnya tahu juga kehamilanku. Dia sering curi-curi pandang melihat perutku yang mulai membuncit. Aku tidak tahu, apakah dia sadar kalau anak dalam kandunganku adalah hasil dari perbuatannya. Yang jelas, Eki menjadi sangat perhatian padaku. Setiap sore dia ke rumah untuk membantu apa saja.

Pada suatu malam, Mas Prasetyo harus pergi dinas ke luar kota. Malam itu kami membiarkan Eki sampai malam di rumah kami, sambil membantu menjaga rumah. Aku harus ikut pengajian dengan ibu-ibu kampung. Jam setengah sepuluh malam aku baru pulang. Sampai di rumah, aku lihat Eki masih mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu.

“Ndun, Sangga sudah pulang?” tanyaku sambil menaruh payung karena malam itu hujan turun cukup deras.
“Belum, Bu,”

Aku lalu menelpon anak itu. Ternyata dia sedang mengerjakan tugas di rumah temannya. Aku percaya dengan Sangga, karena dia tidak seperti anak-anak yang suka hura-hura. Dia tipe anak yang sangat serius dalam belajar. Apalagi sekolahnya adalah sekolah teladan di kota kami. Jadi kubiarkan saja dia menginap di rumah temannya itu.

Aku lalu berkata ke Eki,

“Kamu nginap sini aja ya, aku takut nih, hujan deres banget dan Mas Prasetyo gak pulang malam ini.” Memang aku selalu gak enak hati kalau cuaca buruk tanpa mas Prasetyo. Takutnya kalau ada angin besar dan lampu mati. Apalagi kami sudah tidak ada lagi masalah dengan kejadian waktu itu.

“Iya, bu, sekalian aku ngerjain tugas di sini,” jawab Eki.

Aku melepas kerudungku dan duduk di depan tivi di ruang keluarga. Agak malas juga aku ganti daster, dan juga ada si Eki, gak enak kalau dia nanti keingat kejadian dulu. Sambil masih tetap pakai baju muslim panjang aku menyelonjorkan kakiku di sofa, sementara si Eki masih sibuk mengerjakan kalkulus di ruang tamu.

Bajuku baju panjang terusan. Agak gerah juga karena baju panjang itu, akhirnya aku masuk kamar dan melepas bra yang menyiksa payudara bengkakku. Aku juga melepas cd ku karena lembab yang luar biasa di celah tempikku. Maklum ibu hamil. Kalau kalian lihat aku malam itu mungkin kalian juga bakalan nafsu deh, soalnya walaupun pakai baju panjang, tapi seluruh lekuk tubuhku pada keliatan karena pantat dan payudaraku memang membesar.

Acara tivi gak ada yang menarik. Akhirnya aku ingat untuk membuatkan Eki minuman. Sambil membawa kopi ke ruang tamu aku duduk menemani anak itu.

“Wah.. makasih, Bu. Kok repot-repot?” katanya sungkan.
“Gak papa, kok.”

Aku duduk di depannya sambil tak sengaja mengelus perutku. Eki malu-malu melihat perutku.

“Bu, udah berapa bulan ya?” tanyanya kemudian sambil meletakkan penanya.
“Menurutmu berapa bulan? Masak nggak tahu?” tanyaku iseng menggodanya.

Tiba-tiba mukanya memerah. Eki lalu menunduk malu. “Ya nggak tahu, bu… Kok saya bisa tahu darimana?” jawabnya tersipu.

Tiba-tiba aku sangat ingin memberi tahunya, kabar gembira yang sewajarnya juga dirasakan oleh bapak kandung dari anak dalam kandunganku ini. Dengan santai aku menjawab, “Lha bapaknya masak gak tahu umur anaknya?”
Eki kaget, gak menyangka aku akan menjawab sejelas itu. Dia langsung gelagapan, hehehe. Apa yang kau harap dari seorang anak ingusan yang tiba-tiba akan menjadi bapak? Wajahnya melongo menatapku takut-takut. Dia tidak tahu akan menjawab apa. Aku jadi tambah ingin menggodanya.

“Kamu sih bapak yang gak bertanggung jawab. Sudah menghamili pura-pura tidak tahu lagi,” kataku sambil melirik menggodanya.

Aku mengelus-elus perutku. Geli juga lihat wajah Eki saat itu. Antara kaget dan bingung serta perasaan-perasaan yang tidak dimengertinya.

“Aku… eee… maaf, Bu… aku tidak tahu…” Eki menyeka keringat dingin di dahinya.
“Memangnya kamu tidak suka anak dalam perutku ini anakmu?” tanyaku.
“Eh… aku suka banget, Bu.. Aku seneng…” Eki benar-benar kalut.
“Ya udah.. kalau benar-benar seneng, sini kamu rasakan gerakannya,” kataku manja sambil mengelus perutku.
“Boleh, Bu, aku pegang?” tanyanya khawatir.
“Ya, sini, kamu rasakan aja. Biar kalian dekat,” perutku terlihat sangat membuncit karena baju muslim yang kupakai hampir tidak muat menyembunyikan bengkaknya.

Eki bergeser dan duduk di sebelahku. Matanya menunduk melihat ke perutku. Takut-takut tangannya menuju ke perutku. Dengan tenang kupegang tangan itu dan kudaratkan ke bukit di perutku. Sebenarnya aku berbohong, karena umur begitu gerakan bayi belum terasa, tapi Eki mana tahu. Dengan hati-hati dia meletakkan telapaknya di perutku.

“Maaf ya, bu,” ijinnya.

Aku membiarkan telapaknya menempel ketat di perutku. Dia diam seolah-olah mencoba mendengar apa yang ada di dalam rahimku. Aku merasa senang sekali karena biar bagaimanapun anak ingusan ini adalah bapak dari anak dalam kandunganku ini.

“Kamu suka punya anak, Ndun?” tanyaku.
“Aku suka sekali, Bu, punya anak dari Ibu. Ohh.. Bu, maafkan saya ya, Bu,” jawab Eki hampir tak kedengaran.

Tangannya gemetar di atas perutku. Eki terlihat sangat kebingungan, tak tahu harus berbuat apa.
Aku juga ikut bingung, dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, bingung, geli, dan macam-macam rasa gak jelas.

Tiba-tiba dadaku berdebar-debar menatap anak muda itu. Anak itu sendiri masih takut-takut melihat mukaku. Kami berdua tiba-tiba terdiam tanpa tahu harus melakukan apa. Tangan Eki terdiam di atas perutku.

“Ndun, gimana perasaanmu lihat ibu-ibu yang lagi bengkak-bengkak kayak aku?” tanyaku memecah kesunyian.
“Saya suka sekali, Bu..” jawabnya.
“Kenapa?”
“Ibu jadi makin cantik.” jawabnya dengan muka memerah.
“Ihh.. cantik dari mana? Aku khan udah tua, dan lagian sekarang badanku kayak gini..” jawabku.

Eki mengangkat wajahnya pelan dan menatapku malu-malu.

“Gak kok, Ibu tetep cantik banget…” jawabnya lirih. Tangannya mulai mengelus-elus perutku lagi. Aku merasa geli, yang tiba-tiba jadi sedikit horny. Apalagi tadi malam Mas Prasetyo belum sempat menyetubuhiku.

“Kok waktu itu kamu tegang ngintip aku sama Mas Prasetyo?” tanyaku manja. Mukaku memerah. Aku benar-benar bernafsu.

Aneh juga, anak kecil ini pun sekarang membuatku pengen disetubuhi. Apa yang salah dengan diriku?

“Aku nafsu lihat badan Ibu…” kali ini Eki menatap wajahku. Mukanya merah. Jelas dia bernafsu. Aku tahu banget muka laki-laki yang nafsu lihat aku.

“Kalau sekarang, masa masih nafsu juga? Aku khan sudah membukit kayak gini..”

Eki blingsatan.

“Sekarang masih iya..” jawabnya sambil membetulkan celana.
“Idiiih…. mana, coba lihat?” godaku.

Eki makin berani. Tangannya gemetar membuka celananya. Dari dalam celananya tersembul keluar sebatang kontol jauh lebih kecil dari punya suamiku. Yang jelas, kontol itu sudah sangat tegang.

“Wah, kok sudah tegang banget. Pengen nengok anakmu ya?” godaku.

Eki sudah menurunkan semua celananya. Tapi dia tidak tahu harus melakukan apa. Lucu lihat batang kecil itu tegak menantang. Aku sudah sangat horny. Tempikku sudah mulai basah. Tak tahu kenapa bisa senafsu itu dekat dengan anak SMP ini. Dengan gemes aku pegang kontol Eki.

“Mau dimasukin lagi?” tanyaku gemetaran.
“Iya, bu.. mau banget!”

Tanpa menunggu lagi aku menaikkan baju panjangku dan mengangkangkan kakiku. Segera tempikku terpampang jelas di depan Eki. Rambut hitam tempikku serasa sangat kontras dengan kulit putihku. Segera kubimbing kontol anak itu ke dalam lobang tempikku. Eki mengerang pelan, matanya terbeliak melihat kontolnya pelan-pelan masuk ditelan oleh tempikku.

“Ohhhh…. Buuu…” desisnya.

Bless!! Segera kontol itu masuk seluruhnya ke dalam lobang tempikku. Aku sendiri merasakan kenikmatan yang aneh. Entah kenapa, aku sangat ingin mengisi lobangku dengan batang kecil itu.

“Diemin dulu di dalam sebentar, biar kamu gak cepat keluar,” perintahku.
“I-iya, Bu..” erangnya. Eki mendongakkan kepalanya menahan kenikmatan yang luar biasa baginya. Sengaja pelan-pelan

kuremas kontol itu dengan vaginaku, sambil kulihat reaksinya.

“Ohhh…” Eki mengerang sambil mendongak ke atas.

Kubiarkan dia merasakan sensasi itu. Pelan-pelan tanganku meremas pantatnya. Eki menunduk menatap wajahku di bawahnya. Pelan-pelan dia mulai bisa mengendalikan diri. Tampak nafasnya mulai agak teratur. Kupegang leher anak itu dan kuturunkan mukanya. Muka kami semakin berdekatan. Bibirku lalu mencium bibirnya.

“Hssh..” kami berdua melenguh, lalu saling mengulum dan bermain lidah.

Tangannya meremas dadaku. Aku merasakan kenikmatan yang tiada tara. Segera kuangkat sedikit pantatku untuk merasakan seluruh batang itu semakin ambles ke dalam tempikku.

“Ndun, ayo gerakin maju mundur pelan-pelan..” perintahku.

Eki mulai memaju-mundurkan pantatnya. Kontolnya walaupun kecil, kalau sudah keras ternyata begitu nikmat sekali di dalam tempikku. Aku mengerang-erang sekarang. Tempikku sudah basah sekali. Banjir mengalir sampai ke pantatku, bahkan mengenai sofa ruang tamu. Aku mengarahkan tangan Eki untuk meremas-remas payudaraku lagi. Dengan hati-hati dia berusaha tidak mengenai perutku karena takut akan menyakiti kandunganku.
Ohhh… aku sudah sangat bernafsu!

Sekitar 15 menit Eki memaju-mundurkan pantatnya. Aku tidak mengira dia sekarang sekuat itu. Mungkin dulu dia panik dan belum terbiasa. Aku tiba-tiba merasakan orgasme yang luar biasa.

“Ohhhh…” teriakku. Tubuhku melengkung ke atas. Eki terdiam dengan tetap menancapkan kontolnya dalam lobangku. “Aku sampai, Ndunnnn…” kataku terengah-engah. Sambil tetap membiarkan kontolnya di dalam tempikku, aku memeluk

pria kecil itu. Badannya penuh keringat. Kami terdiam selama berepa menit sambil berpelukan. Kontol Eki masih keras dan tegang di dalam tempikku.

“Ndun, pindah ke kamar yuk,” ajakku.

Eki mengangguk. Dicabutnya penisnya dan berdiri di depanku. Aku ikut berdiri gemetar karena dampak dari orgasme yang menggebu-gebu barusan. Kemudian aku membimbing tangan anak itu, membawanya ke kamarku.

Di dalam, aku meminta dia melepaskan bajuku karena agak repot melepas baju muslim panjang ini. Di depan pemuda itu aku kini telanjang bulat. Eki juga melepas bajunya. Sekarang kami berdua telanjang dan saling berpelukan. Aku lihat kontolnya masih tegak mengacung ke atas. Aku rebahkan pemuda itu di kasur, lalu aku naik ke atas dan kembali memasukkan kontolnya ke tempikku. Kali ini aku yang menggenjotnya maju mundur. Tangan Eki meremas-remas susuku.
Ohh, nikmat sekali.

Kontol kecil itu benar-benar hebat. Dia berdiri tegak terus tanpa mengendor sedikit pun. Aku sengaja memutar-mutar pantatku supaya kontol itu cepat muncrat. Tapi tetap saja posisinya sama. Aku kembali orgasme, bahkan sampai dua kali lagi.

Orgasme ketiga aku sudah didera kelelahan yang luar biasa. Aku peluk pemuda itu dan kupegang kontolnya yang masih tegak mengacung. Kami berpelukan di tengah ranjang yang biasa kupakai bercinta dengan suamiku.

“Aduuuh, Ndun.. kamu kuat juga ya. Kamu masih belum keluar ya?”
“Gak papa, Bu…” jawabnya pelan.

Tiba-tiba aku punya ide untuk membantu Eki. Kuraih batang kecil itu dan kembali kumasukkan dalam tempikku. Kali ini kami saling berpelukan sambil berbaring bersisian.

“Ndun, Ibu udah lelah banget. Batangmu dibiarin aja ya di dalam, sampai kamu keluar…” bisikku.

Eki mengangguk. Kami kembali berpelukan bagai sepasang kekasih. Tempikku berkedut-kedut menerima batang itu. Kubiarkan banjir mengalir membasahi tempikku, Eki juga membiarkan kontolnya tersimpan rapi dalam tempikku. Karena kelelahan, aku tertidur dengan sebatang kontol ada di dalam tempikku.

Gak tahu berapa jam aku tertidur dengan kontol Eki masih tertanam dalam-dalam, ketika jam 1 malam tiba-tiba hapeku menerima sms. Aku terbangun dan melihat Eki masih menatap wajahku sambil membiarkan kontolnya diam dalam lobangku.

“Aduh, Ndun. Kamu belum bisa bobok? Aduuuh, soriiii ya…” kataku sambil meremas kontolnya dengan tempikku.
“Gak papa kok, Bu. Aku seneng banget di dalam..” kata Eki.

Tanpa merubah posisi aku meraih hp yang ada di meja samping ranjang. Kubuka sms, ternyata dari Mas Prasetyo:

“Hai Say, udah bobok? Kalau belum, aku pengen telp.”

Aku segera balas:

“Baru terbangun, telp aja, kangen.”

Segera setelah kubalas sms, Mas Prasetyo menelponku. Aku menerima teleponnya sambil berbaring dan membiarkan kontol Eki tetap berada di dalam tempikku.

“Hei… Sorii ganggu, udah bobok belum?” tanyanya.
“Gak papa, Mas, kangen. Kapan jadinya balik?” tanyaku.
“Lusa, Dik, ini aku masih di jalan. Lagi ada pembekalan masyarakat. Gimana anak-anak?”
“Hmmm…. “ aku agak menggeliat.

Eki memajukan pantatnya, takut lepas kontolnya dari lobangku. Aku meletakkan jariku di bibirnya agar dia tak bersuara. Eki mengangguk sambil tersenyum.

“Baik, mereka oke-oke saja kok. Udah pada makan dan bobok nyenyak dari jam 9 tadi. Aku kangen, mas…”
“Sama.. pengen nih,” kata suamiku.
“Sini, mau di mulut apa di bawah?” tanyaku nakal.
“Mana aja boleh,”
“Nih, pakai mulutku aja. Udah lama gak dikasih. Udah gatel, hihi…” godaku.
“Aduh, Dik. Aku lagi di kampung sepi. Malah jadi kangen sama kamu. Gimana hayooo?” rengek suamiku. Kami memang biasa saling terbuka soal kebutuhan seks kami.
“Kocok aja, Mas. Aku juga mau,” kataku manja.

Kemudian aku menggeser Eki agar menindih di atas tubuhku. Sambil tanganku menutup hp, aku berbisik ke Eki,

“Sekarang kamu genjot aku sekencang-kencangnya sampai keluar ya. Sekuat-kuatnya!”

Eki mengangguk. Aku lalu menjawab telepon suamiku lagi,

“Ayo, mas, buka celananya..” Aku mengambil cd milikku yang ada di samping ranjang lalu kujejalkan ke mulut Eki.

Eki tahu maksudku agar dia tidak bersuara.

“Oke, Dik. Aku sudah menghunus rudalku..”

Sambil menjawab mesra, aku menekan pantat Eki agar segera memaju-mundurkan kontolnya dalam tempikku. Eki segera membalasnya dan mulai menggenjotku. Aku menyuruhnya untuk menurunkan kakinya ke samping ranjang sehingga perutku tidak tertindih badannya. Sementara aku mengangkang dengan dua kakiku terangkat ke samping kiri dan kanan badan pemuda abg itu.

Ohhh, Ya Tuhan. Bagai kesetanan, Eki menggenjotku seperti yang kuperintahkan. Aku mengerang-erang, begitu juga suamiku.

“Mas, aku masturbasi kesetanan ini… pengen banget! Kamu kocok kuat-kuat yaaa… ahhhhh!!”
“Iyaah… oohhh, untung aku bawa cdmu, buat ngocok nih…. ohhhhh!!” erang suamiku.

Tak kalah hebatnya, Eki terus menggasak lobangku dengan tanpa kompromi. Badan kurusnya maju mundur secepat bor listrik. Aku mengerang-erang tidak karuan. Suara lobangku berdecit-decit karena banjir dan gesekan dengan kontol Eki.

Benar-benar gila malam ini. Aku sudah tidak ingat lagi berapa lama aku digenjot Eki. Suaraku penuh nafsu bertukar kata-kata mesra dengan suamiku. Eki seolah-olah tak pernah lelah. Tubuhnya sudah banjir keringat. Stamina mudanya benar-benar membanggakan. Keringat juga membanjiri tubuhku. Sementara suara suamiku juga meraung-raung kenikmatan, semoga kamar dia di perjalan dinas itu kamar yang kedap suara.

Beberapa saat kemudian aku kehabisan tenaga. Kuminta Eki untuk berhenti sejenak. Pemuda itu nampak terengah-engah sehabis menggenjotku habis-habisan.

Setelah itu kami melanjutkan permainan kami. Eki dengan kuatnya menggenjotku habis-habisan. Aku tak tahu lagi apa yang kecerecaukan di telepon, tapi nampaknya suamiku juga sama saja. Beberapa saat kemudian aku dan suamiku sama-sama berteriak, kami sama-sama keluar.

Aku terengah-engah mengatur nafasku. Lalu suamiku memberi salam mesra dan ciuman jarak jauh. Kami betul-betul terpuaskan malam ini. Setelah ngobrol-ngobrol singkat, suamiku menutup teleponnya.

Di kamarku, Eki masih menggenjotku pelan-pelan. Dia belum keluar rupanya. Wah, gila. Aku kawatir jepitanku mungkin sudah tidak mempan untuk kontolnya yang masih tumbuh. Kubiarkan kontol pemuda itu mengobok-obok tempikku.

Tiba-tiba kudorong Eki, sehingga lepas kontol dari lobangku. Ohhh, lenguhnya kecewa. Lalu aku tarik dia naik ke tempat tidur dan aku segera menungging di depannya. Eki tahu maksudku. Dia segera mengarahkan kontolnya ke tempikku. Tapi segera kupegang kontol itu dan kuarahkan ke lobang yang lain. Pantatku! Mungkin di sanalah kontol Eki akan dijepit dengan maksimal, pikirku tanpa pertimbangan.

Eki sadar apa yang kulakukan. Disodokkannya kontolnya ke lobang pantatku. Tapi lobang itu ternyata masih terlalu kecil bahkan buat kontol Eki. Aku berdiri dan menyuruhnya menunggu. Lalu aku turun dan mengambil jelli organik dari dalam rak obat di kamar mandi. Dengan setia Eki menunggu dengan kontol yang juga setia mengacung. Jelli itu kuoleskan ke seluruh batang Eki, dan sebagian kuusap-usapkan ke sekitar lobang pantatku. Kembali aku menunggingkan pantatku. Eki mengarahkan kotolnya kembali dan pelan-pelan lobang itu berhasil diterobosnya.

“Ohhhhh…” desisku. Sensasinya sangat luar biasa. Pelan-pelan batang kontol itu menyusup di lobang yang sempit itu.
“Aaughhh…” Eki mengerang keras. Setengah perjalanan, kontol itu berhenti. Baru separo yang masuk. Eki terengah-engah, begitu juga aku.
“Pelan-pelan, Ndun…” bisikku.

Eki memegangi bongkahan pantatku dan kembali menyodokkan kontolnya ke lobangku. Dan akhirnya seluruh batang itu masuk dalam lobang pantatku. Ohhh, Tuhan… rasanya sangat luar biasa, antara sakit dan nikmat yang tak terceritakan. Aku mengerang.

Kami berdiam beberapa menit, membiarkan lobangku terbiasa dengan batang kontol itu. Setelah itu Eki mulai memaju-mundukan pinggangnya. Rasanya luar biasa. Pengalaman baru yang membuatku ketagihan.

Beberapa saat kemudian, Eki mengerang-erang keras. Dia memaksakan menggejot pantatku dengan cepat, tapi karena sangat sempit, genjotannya jadi tidak bisa lancar. Kemudian, ohhhhhhhh…

Eki memuncratkan spermanya dalam pantatku!! Crooooott… crooooott… crooooott…

Aku tersungkur dan Eki terlentang ke belakang. Muncratannya sebagian mengenai punggungku. Kami sama-sama terengah-engah dan didera kelelahan yang luar biasa. Aku membalikkan tubuhku dan memeluk Eki yang terkapar tanpa daya. Kami berpelukan dengan telanjang bulat sepanjang malam.

Esoknya, aku bangun jam 6 pagi. Eki masih ada dalam pelukanku. Oh, Tuhan. Untung aku mengunci pintu kamar. Mbok Imah, tetangga yang biasa bantuin ngurusin anak-anak, sudah terdengar suaranya di belakang.

Oh.. apa yang sudah kulakukan tadi malam? Aku benar-benar tidak habis pikir. Kalau malam waktu itu benar-benar hanya sebuah kecelakaan. Tapi malam ini, aku dan Eki benar-benar melakukannya dengan penuh kesadaran. Apa yang kulakukan pada anak abg ini? Aku jadi gelisah memikirkannya, aku takut membuat anak ini menjadi anak yang salah jalan. Rasa bersalah itu membuatku merasa bertambah sayang pada anak kecil itu. Kurangkul kembali tubuh kecil itu dan kuciumin pipinya. Tubuh kami masih sama-sama telanjang.

Aku lihat si Eki masih nyenyak tidur. Mukanya nampak manis sekali pagi itu. Aku mengecup pipi anak itu dan membangunkannya.

“Ndun, bangun. Kamu sekolah khan?” bisikku.

Eki nampak kaget dan segera duduk.

“Oh, Bu.. maaf, aku kesiangan.” katanya gugup.
“Gak papa, Ndun, aku yang salah mengajakmu tadi malam.” Kami berpandangan.
“Maaf, Bu. Aku benar-benar tidak sopan,”
“Lho, khan bukan kamu yang mengajak kita tidur bersama. Aku yang salah, Ndun.” bisikku pelan.

Eki menatapku,

“Aku sayang sama Ibu…” katanya pelan.
“Ndun, kamu punya pacar?”
“Belum, bu,”
“Kamu janji ya jangan cerita-cerita ke siapa-siapa soal kita,”
“Iya, bu, gak mungkinlah,”
“Aku takut kamu rusak karena aku,”
“Gak kok, Bu. Aku sayang sama Ibu.”
“Kamu jangan melakukan ini ke sembarang orang ya,” kataku khawatir.
“Tidak, Bu, aku bukan cowok seperti itu. Tapi kalau sama Ibu, masih boleh kan?” katanya pelan.

Tiba-tiba aku sangat ingin memeluk anak ini.

“Aku juga sayang kamu, Ndun. Sini Ibu peluk.”

Eki mendekat dan kami berpelukan sambil berdiri. Tangannya merangkul pinggangku dan aku memegang pantatnya. Kami berpelukan lama dan saling berpandangan. Lalu bibir kami saling berpagutan. Gila, aku benar-benar serasa berpacaran dengan anak kecil ini. Mulut kami saling bergumul dengan panasnya.

Aku lihat kontol anak itu masih tegak berdiri, mungkin karena efek pagi hari. Tanganku meraih batang itu dan mengocoknya pelan-pelan. Aku berpikir cepat, karena pagi ini Eki harus sekolah, aku harus segera menuntaskan ketegangan kontol itu.

Maka aku segera membalikkan tubuhku dan berpegangan pada meja rias. Sambil melihat Eki lewat cermin, aku menyuruhnya,

“Ndun, kamu pakai jeli itu lagi. Cepat masukin lagi kontolmu ke pantat Ibu.”

Eki buru-buru melumasi batangnya. Aku menyorongkan bongkahan pantatku. Dari cermin aku dapat melihat muka dan badanku sendiri. Ohh… agak malu juga aku melihat tubuhku yang mulai membengkak di sana-sini, tapi masih penuh dengan nafsu birahi.

“Cepat, Ndun, nanti kamu terlambat sekolah,” perintahku.

Sambil memeluk perutku, Eki mendorong kontolnya masuk ke lobang pantatku. Lobang yang semalam sudah disodok-sodok itu segera menerima batang yang mengeras itu.
Segera kami sudah melakukan persetubuhan lagi. Aku dapat melihat adegan seksi itu lewat cermin, di mana mukaku terlihat sangat bernafsu dan juga muka Eki yang mengerang-erang di belakangku.

“Ayo, Ndun, sodok yang kuat!”
“I-iya, Bu..”
“Terusss… lebih cepat!”

Sodokan-sodokan Eki semakin bersemangat. Lobang pantatku semakin elastis menerima batang imutnya. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Tidak berapa lama kemudian kami berdua sama-sama mencapai puncak kenikmatan. Eki membiarkan cairan spermanya meluncur deras dalam pantatku. Kami sama-sama terengah-engah menikmati puncak yang barusan kami daki.

“Ohhh…” Sejenak kemudian aku lepaskan pantatku dari kontolnya.

“Udah, Ndun. Sana kamu mandi, pulang. Nanti kamu terlambat lho sekolahnya,” kataku sambil tersenyum.

Eki mencari-cari pakaiannya. Tiba-tiba kami sadar kalau celana Eki ada di ruang tamu. Aku suruh si Eki nunggu di kamar, sementara aku segera berpakaian dan keluar ke ruang tamu. Moga-moga belum ada yang menemukan celana itu. Untungnya celana itu teronggok di bawah sofa dan terselip sehingga Mbok Imah yang biasanya sibuk dulu menyiapkan sarapan belum sempat membereskan ruang tamu. Celana itu segera kuambil dan kubawa ke kamar. Si Eki yang tadinya nampak panik, kini berubah tenang.

Setelah memakai celananya, Eki kusuruh cepat-cepat keluar ke ruang tamu dan mengambil tas belajarnya yang semalam tergeletak di meja. Setelah itu dia pamit pulang.

Aku sendiri segera mandi. Di kamar mandi aku merasakan sedikit perih di bagian lobang pantatku. Baru kali ini lobang itu menjadi alat seks, itu pun justru dengan anak kecil yang belum tahu apa-apa. Ada sedikit rasa sesal, tapi segera kuguyur kepalaku untuk menghilangkan rasa gundah di dadaku.

Sorenya Eki kembali main ke rumah. Dia sudah sibuk membereskan buku-buku di gazebo kami.

Malam itu Eki tidur lagi di kamarku. Mas Prasetyo baru pulang besok harinya. Selama berjam-jam kami kembali bercinta. Kami saling berpelukan dan berbagi kasih selayaknya sepasang kekasih. Tapi sebelum jam 1, aku suruh Eki untuk segera tidur. Aku khawatir sekolahnya akan terganggu karena aktivitasku.

“Ndun, tadi kamu di sekolah gimana?” bisikku setelah kami selesai ronde ke tiga. Kami berpelukan dengan mesra di tengah ranjang.
“Biasa aja, Bu.”
“Kamu gak kelelahan atau ngantuk di sekolah?”
“Iya, Bu, sedikit. Tapi gak papa, aku tadi sempat tidur siang.”
“Aku takut menganggu sekolahmu,”
“Gak kok, Bu. Tadi aku bisa ngikutin pelajaran,”
“Okelah kalau gitu. Tapi setelah ini kamu tidur ya, gak usah diterusin dulu.”
“Iya, Bu.”
“Besok Mas Prasetyo pulang, kamu gak bisa nginap disini,”
“Iya, Bu. Tapi kapan-kapan saya siap menemani Ibu di sini,”
“Yee…. maunya. Ya, gak papa,” kataku sambil mencubit pinggangnya.
“Aku mau jadi pacar Ibu,”
“Lho, aku khan sudah bersuami?”
“Ya gak papa, jadi apa saja deh,”
“Aku justru kasihan sama kamu. Besok-besok kalau kamu udah siap, kamu cari pacar yang bener ya?”
“Iya, Bu. Aku tetap sayang sama Ibu. Mau dijadiin apa saja juga mau,”
“Idihh.. ya udah, bobok yuk!” kataku kelelahan. Kami tidur berpelukan sampai pagi.

Setelah malam itu, aku semakin sering bercinta dengan Eki. Kapan pun ada kesempatan, kami berdua akan melakukannya. Eki sangat memperhatikan bayi dalam kandunganku. Setiap ada kesempatan, dia menciumi perutku dan mengelus-elusnya. Kasihan juga aku lihat anak kecil itu sudah merasa harus jadi bapak.
Herannya, aku juga kecanduan dengan kontol kecil anak ini. Padahal aku sudah punya kontol yang jauh lebih besar dan tersedia untukku.

Bayangkan, beda usiaku dengan Eki mungkin sekitar 27 tahun. Bahkan anak itu lebih cocok menjadi adik anak-anakku. Tapi hubungan kami bertambah mesra seiring usia kehamilanku yang semakin membesar. Eki bahkan sering ikut menemaniku ke dokter tatkala suamiku sedang dinas keluar. Eki semakin perhatian padaku dan anak dalam kandunganku. Kami sangat bahagia karena bayi dalam kandunganku berada dalam kondisi sehat.

Aku selalu mengingatkan Eki untuk tetap fokus pada sekolahnya, dan jangan terlalu memikirkan anaknya. Yang paling tidak bisa dicegah adalah, Eki semakin lama semakin kecanduan lobang pantatku. Lama-lama aku juga merasakan hal yang sama. Seolah-olah lobang pantatku menjadi eksklusif milik Eki, sementara lobang-lobangku yang lain dibagi antara Eki dan suamiku. Sampai sekarang, suamiku tidak pernah tahu kalau pantatku sudah dijebol oleh Eki.
Lama-lama aku khawatir juga dengan cerita tentang hubungan kelamin lewat pantat dapat menimbulkan berbagai penyakit, termasuk AIDS. Aku akhirnya menyediakan kondom untuk Eki kalau dia minta lobang pantatku. Eki sih oke-oke saja.

Dia juga khawatir, walaupun dia sangat senang ketika masuk ke lubang pantatku.

Untung aku dan suamiku juga kadang-kadang memakai kondom, sehingga aku tidak canggung lagi membeli kondom di apotik. Bahkan aku sering mendapat kondom gratis dari kelurahan.

Mungkin karena masih masa pertumbuhan dan sering kupakai, aku melihat lama kelamaan kontol Eki juga mengalami pembesaran. Kontol yang semakin berpengalaman itu tidak lagi seperti kontol imut pada waktu pertama kali masuk ke tempikku, tapi sudah menjelma menjadi kontol dewasa dan berurat ketika tegang. Aku sadar, kalau aku adalah salah satu sebab dari pertumbuhan instant dari kontol Eki. Kekuatan kontolnya juga semakin luar biasa. Dia tidak lagi gampang keluar, bahkan kalau dipikir-pikir, dia mungkin lebih kuat dari suamiku.

Karena perutku semakin membesar, aku jadi sering memakai celana legging yang lentur dan baju kaos ketat yang berbahan sangat lentur. Kalau di rumah aku bahkan hanya pakai kaos panjang tanpa bawahan. Orang pasti mengira aku selalu pakai cd, padahal sering aku malas memakainya. Entah karena bawaan ibu hamil atau karena nafsu birahiku yang semakin gila.

Waktu ibu Eki mau naik haji, aku ikut sibuk dengan ibu-ibu kampung untuk mempersiapkan pengajian haji. Biasalah, kalau mau naik haji pasti hebohnya minta ampun. Aku termasuk dekat dengan ibu Eki. Namanya bu Masuroh, yang biasa dipanggil Bu Ro. Karena keluarga Eki termasuk keluarga yang terpandang di desa kami, maka acara pengajian itu menjadi acara yang besar-besaran. Banyak ibu-ibu yang ikut sibuk di rumah Bu Ro. Kalau aku ke sana aku lebih sering karena ingin ketemu Eki.

Acara pengajian dan keberadaan Mas Prasetyo di rumah membuat kesempatanku bertemu dengan Eki menjadi sangat terbatas. Sudah lama Eki tidak merasakan lobang pantatku. Aku sendiri bingung bagaimana mencari kesempatan untuk ketemu Eki. Walaupun aku sering pergi ke rumahnya dan kadang-kadang juga diantar Eki untuk berbelanja sesuatu untuk keperluan pengajian, tapi tetap saja kami tidak punya kesempatan untuk bercinta. Akhirnya pada saat pengajian besar itu aku mendapatkan ide.

Sorenya, segera kutelepon Eki menggunakan telepon rumah, karena aku sangat hati-hati memakai hp, apalagi untuk urusan Eki.

“Assalamu’alaikum, Bu. Ini Bu Veronika. Gimana Bu persiapan nanti malam, sudah beres semua?”
“Oh, Bu Veronika. Sudah Bu. Nanti datangnya agak sorean ya, bu. Kalau gak ada Ibu, kita bingung nih,” jawab Bu Ro.
“Iya, beres, Bu. Saya sama Bu Anjar sudah janjian setelah maghrib langsung kesitu. Eki ada, Bu Ro?”
“Ada, Bu, sebentar ya,”

Setelah Eki yang memegang telepon, aku segera bilang: “Ndun, nanti malam kamu pake celana yang bisa dibuka depannya ya,” kataku pelan.

“Iya, Bu,” jawab Eki agak bingung.
“Terus kamu pakai kondom kamu…”

Eki mengangguk lagi, dan telepon segera kututup.

Malam itu pengajian dilangsungkan dengan besar-besaran. Halaman RW kami yang luas hampir tidak bisa menampung jama’ah yang datang dari seluruh penjuru kota. Bu Ro memang tokoh yang disegani masyarakat. Aku datang bersama ibu-ibu RT. Aku memakai kerudung, dengan baju atasan longgar yang menutup sampai bawah pinggang. Bawahannya aku memakai legging ketat, karena memang lagi biasa dipakai ibu-ibu pada saat ini. Apalagi aku lagi hamil, pasti orang-orang pada maklum akan kondisiku.

Yang tidak biasa adalah bahwa aku tidak memakai apapun di balik celana leggingku. Sengaja aku tinggalkan cd-ku di rumah, karena aku punya sebuah ide untuk Eki.

Setelah semua urusan kepanitiaan beres, aku segera bergabung dengan ibu-ibu jama’ah pengajian. Tapi kemudian aku dan beberapa ibu yang lain pindah ke halaman, karena lebih bebas dan bisa berdiri. Hanya saja halaman itu sudah sangat penuh dan berdesak-desakan. Justru aku memilih tempat yang paling ramai oleh pengunjung. Di kejauhan aku melihat Eki dan memberinya kode untuk mengikutiku.

Eki beranjak menuju ke arahku, sementara aku mengajak Bu Anjar untuk ke sebuah lokasi di bawah pohon di lapangan RW. Lokasi itu agak gelap karena bayangan lampu tertutup rindangnya pohon. Walaupun demikian, banyak anggota jama’ah di situ yang berdiri berdesak-desakan.

“Kita sini aja, Bu, kalau Ibu mau. Tapi kalau ibu keberatan, silakan Ibu pindah ke sana,” kataku pada Bu Anjar.
“Gak papa, Bu, di sini lebih bebas. Bisa bolos kalau udah kemaleman, hihihi..” kata Bu Anjar.
“Iya, ya. Biasanya pengajian ginian bisa sampai jam 12 lho,”

Kami lalu bercakap-cakap dengan seru sambil mendengarkan pengajian. Ternyata di sebelah Bu Anjar adan Bu Kesti yang juara negrumpi. Kami segera terlibat pembicaraan serius sambil sekali-kali mendengarkan ceramah kalau pas ada cerita-cerita lucu. Kami berdiri agak di barisan tengah, Bu Anjar dan Bu Kesti mendapat tempat duduk di sebelahku.

“Bu, monggo kalau mau duduk,” tawarnya padaku.
“Wah, gak usah, Bu. Saya lebih suka berdiri gini aja,” jawabku. Padahal aku sedang menunggu Eki yang sedang berusaha menyibak kerumunan menuju ke arah kami.

Akhirnya Eki tiba di belakangku. Dua ibu-ibu sebelahku tidak memperhatikan kehadiran Eki, tapi aku melirik anak muda itu dan menyuruhnya berdiri tepat di belakangku. Aku bergeser berdiri sedikit di belakang bangku Bu Anjar dan
Bu Kesti. Sementara Eki dengan segera berdiri tepat di belakangku.

Dengan diam-diam aku menempelkan pantatku ke badan Eki. Eki tersenyum dan memajukan badannya. Pantatku yang semlohai segera menempel pada kontol Eki yang sudah tegang di balik celananya.

Aku berbisik pada Eki, “Buka, Ndun. Udah pakai kondom?”

Eki mengangguk dan membuka risliting celananya. Segera tersembul batangnya yang sudah mengeras. Segera kusibakkan baju panjangku ke atas dan nampaklah leggingku sudah kuberi lobang di bagian belahan pantat. Eki nampak terkejut, dan sekaligus mengerti maksudku.

Dengan pelan-pelan diarahkannya batang kerasnya ke lobang pantatku. Dan, slepppp… masuklah batang itu ke lobang favoritnya. Tangan Eki masuk ke dalam baju kurungku sambil mengelus-elus perutku. Batangnya berada di dalam lobangku sambil sesekali dimaju-mundurkan. Kami bercinta di tengah keramaian dengan tanpa ada yang menyadari. Walaupun begitu aku tetap bercakap-cakap dengan dua ibu-ibu tetanggaku, sementara di kanan kiri kami orang-orang sibuk mendengarkan ceramah dengan berdesak-desakan.

Sekitar satu jam Eki memelukku dalam gelap dari belakang. Tiba-tiba tempikku berkedut-kedut, pengen ikut disodok. Kalau dari belakang berarti aku harus lebih menunduk lagi. Pelan-pelan kutarik keluar kontol Eki dan kulepas kondomnya. Aku kembali mengarahkannya, kali ini ke lubang tempikku. Eki mengerti. Lalu, bless… dengan lancarnya kontol itu masuk ke tempikku dari arah belakang.

Ohh, enak sekali. Aku mulai tidak konsentrasi terhadap ceramah maupun obrolan dua ibu-ibu itu. Karena hanya sesekali kami bergoyang, maka adegan persetubuhan itu berlangsung cukup lama. Kepalaku sudah mulai berkunang-kunang penuh kenikmatan. Di tengkukku aku merasakan nafas Eki semakin ngos-ngosan.

Beberapa saat kemudian, aku mengalami orgasme hebat, tanganku gemetar dan langsung memegang sandaran bangku di depanku. Eki juga kemudian memuncratkan maninya dalam tempikku. Kami berdua hampir bersamaan mengalami orgasme itu.
Setelah agak reda, aku mendorong Eki dan mengeluarkan kontolnya.

Cepat-cepat Eki memasukkan kembali ke dalam celana, dan kuturunkan baju bagian belakangku. Aku dan ibu-ibu itu memutuskan untuk pulang sebelum acara selesai. Untung saja aku dan Eki sudah selesai. Dengan mengedipkan mata, aku menyuruh Eki untuk meninggalkan lokasi. Akhirnya terpuaskan juga hasrat kami setelah hari-hari yang sibuk yang memisahkan kami.

Kusetubuhi Ibu Kawanku

ŠµngŠ°n bŠµrmŠ°in сintŠ° ѕŠ°mŠ° уŠ°ng lŠµbih tuŠ° mŠµruрŠ°kŠ°n ѕŠµnѕŠ°Ń•i tŠµrѕŠµndiri buŠ°t ѕŠ°ŃƒŠ°, kŠ°rŠµnŠ° rŠ°Ń•Š° уŠ°ng dibŠµrikŠ°n lŠµbih dŠ°ri Š°Ń€Š° уŠ°ng ѕŠ°ŃƒŠ° inginkŠ°n, SŠ°ŃƒŠ° mŠµmрunуŠ°i ѕŠµŠ¾rŠ°ng tŠµtŠ°nggŠ°, ѕŠµkŠ°liguѕ kŠ°wŠ°n bŠµrmŠ°in, ѕŠµbut ѕŠ°jŠ° nŠ°mŠ°nуŠ° Reno. SŠ°ŃƒŠ° bŠµrkŠ°wŠ°n dŠ°n bŠµrѕŠ°hŠ°bŠ°t dŠµngŠ°n diŠ° ѕudŠ°h ѕŠµjŠ°k kŠµŃil. HubungŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµngŠ°n Reno ѕudŠ°h ѕŠµŃ€Šµrti kŠ°kŠ°k bŠµrŠ°dik. KŠ°mi selalu bŠµrmŠ°in bersama, ѕŠ°ŃƒŠ° kŠµ rumŠ°hnуŠ° Š°tŠ°uрun diŠ° уŠ°ng kŠµ rumŠ°hku.

MŠ°kŠ°n dŠ°n tŠµrkŠ°dŠ°ng tidur рun kŠ°mi ѕŠµring bŠµrѕŠ°mŠ°. Reno ini Š°nŠ°k tŠµrtuŠ° dŠ°ri 2 bŠµrѕŠ°udŠ°rŠ°. AуŠ°hnуŠ° pergi entah kemana kŠµtikŠ° diŠ° bŠµrumur 12 tŠ°hun. Reno ini mŠµmрunуŠ°i ibu, nŠ°mŠ°nуŠ° Maya. MŠµŃ•kiрun Tante Maya ini ibu dŠ°ri tŠµmŠ°n dŠµkŠ°t ѕŠ°Ńƒa. KŠ°rŠµnŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° ѕudŠ°h tŠµrbiŠ°Ń•Š° bŠµrgŠ°ul dŠµngŠ°n kŠµluŠ°rgŠ° Tante Maya, mŠ°kŠ° Tante Maya mŠµngŠ°nggŠ°Ń€ ѕŠ°ŃƒŠ° ѕudŠ°h ѕŠµŃ€Šµrti Š°nŠ°knуŠ° ѕŠµndiri. SŠµhinggŠ° Tante Maya tidŠ°k mŠµrŠ°Ń•Š° mŠ°lu untuk bŠµrtingkŠ°h wŠ°jŠ°r di hŠ°dŠ°Ń€Š°nku, tŠµrutŠ°mŠ° ѕŠµkŠ°li diŠ° ѕudŠ°h tŠµrbiŠ°Ń•Š° bŠµrрŠ°kŠ°iŠ°n minim, mŠµŃ•kiрun ѕŠ°ŃƒŠ° Š°dŠ° di dŠµŃ€Š°nnуŠ°.

AрŠ°bilŠ° ѕŠµlŠµŃ•Š°i mŠ°ndi, dŠ°n kŠµluŠ°r dŠ°ri kŠ°mŠ°r mŠ°ndi, Tante Maya tŠ°nрŠ° mŠ°lu-mŠ°lu jŠ°lŠ°n di hŠ°dŠ°Ń€Š°n ѕŠ°ŃƒŠ° hŠ°nуŠ° dŠµngŠ°n mŠµlilitkŠ°n hŠ°nduk di tubuhnуŠ°. SŠµhinggŠ° dŠµngŠ°n jŠµlŠ°Ń• ѕŠµkŠ°li tŠµrlihŠ°t kŠµmŠ¾lŠµkŠ°n tubuhnуŠ°. WŠ°rnŠ° kulitnуŠ° уŠ°ng kuning bŠµrѕih, dŠµngŠ°n bŠµntuk рŠ°ntŠ°t уŠ°ng bulŠ°t dŠ°n ѕintŠ°l, ѕŠµrtŠ° ѕŠµŃ€Š°Ń•Š°ng lŠµngŠ°n уŠ°ng indŠ°h dŠµngŠ°n bŠµbŠ°Ń•nуŠ° dŠ°Ń€Š°t diрŠ°ndŠ°ngi, mŠµŃ•kiрun ѕŠ°ŃƒŠ° рŠ°dŠ° ѕŠ°Š°t itu mŠ°Ń•ih SD Š°tŠ°uрun SMP, tŠµtŠ°Ń€i ѕŠµŃŠ°rŠ° nŠ°luri, ѕŠ°ŃƒŠ° ѕudŠ°h ingin jugŠ° mŠµlihŠ°t kŠµmŠ¾lŠµkŠ°n tubuh Tante Maya.

HubungŠ°n dŠµngŠ°n Reno tŠµtŠ°Ń€ bŠ°ik, mŠµŃ•kiрun ѕŠ°ŃƒŠ° ѕudŠ°h рindŠ°h rumŠ°h dŠ°n mŠµŃ•kiрun ѕŠ°ŃƒŠ° ѕudŠ°h kuliŠ°h kŠµ lŠ°in kŠ¾tŠ°, hubungŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµngŠ°n kŠµluŠ°rgŠ° Tante Maya jugŠ° tŠµtŠ°Ń€ tidŠ°k bŠµrubŠ°h. KŠ°lŠ°u ѕŠ°ŃƒŠ° рulŠ°ng kŠµ rumŠ°h ѕŠµbulŠ°n ѕŠµkŠ°li, ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµlŠ°lu ѕŠµmрŠ°tkŠ°n mŠ°in kŠµ rumŠ°h Reno.

SŠµtŠµlŠ°h ditinggal oleh suaminya, Tante Maya ѕŠµlŠ°mŠ° kurŠ°ng lŠµbih 6 tŠ°hun tŠµtŠ°Ń€ mŠµnjŠ°ndŠ°. MŠµŃ•kiрun ѕŠµbŠµnŠ°rnуŠ° bŠ°nуŠ°k lŠ°ki-lŠ°ki уŠ°ng tŠµrtŠ°rik рŠ°dŠ°nуŠ°, kŠ°rŠµnŠ° Tante Maya ini Š¾rŠ°ngnуŠ° сŠ°ntik, ѕŠµkѕi, kulitnуŠ° kuning, biсŠ°rŠ°nуŠ° rŠ°mŠ°h dŠ°n ѕuрŠµl. PŠµnŠ°mрilŠ°nnуŠ° ѕŠµlŠ°lu nŠ°mрŠ°k bersih. TŠµtŠ°Ń€i ѕŠµmuŠ°nуŠ° ditŠ¾lŠ°k, kŠ°rŠµnŠ° Š°lŠ°Ń•Š°n Tante Maya рŠ°dŠ° ѕŠ°Š°t itu kŠ°tŠ°nуŠ° lŠµbih bŠµrkŠ¾nѕŠµntrŠ°Ń•i untuk mŠµngŠ°Ń•uh Š°nŠ°k-Š°nŠ°knуŠ°. TŠµtŠ°Ń€i ѕŠµtŠµlŠ°h 6 tŠ°hun mŠµnjŠ°ndŠ° dank arena alasan ekonomi, Š°khirnуŠ° diŠ° mŠµnikŠ°h dŠµngŠ°n ѕŠµŠ¾rŠ°ng dudŠ° tuŠ°,уŠ°ng mŠµŃ•kiрun kŠ°ŃƒŠ° rŠ°ŃƒŠ° tŠµtŠ°Ń€i ѕŠ°kit-ѕŠ°kitŠ°n. TŠµtŠ°Ń€i рŠµrkŠ°winŠ°n ini hŠ°nуŠ° bŠµrtŠ°hŠ°n kurŠ°ng lŠµbih 1 tŠ°hun, kŠ°rŠµnŠ° ѕuŠ°minуŠ° уŠ°ng bŠ°ru ini Š°khirnуŠ° jugŠ° mŠµninggŠ°l.

SŠµtŠµlŠ°h ѕŠ°ŃƒŠ° DŠµwŠ°Ń•Š°, rŠ°Ń•Š° tŠµrtŠ°rik ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµngŠ°n Tante Maya ѕŠµmŠ°kin mŠµnggŠµbu. Tubuh уŠ°ng ѕŠµkѕi, рŠ°ntŠ°t уŠ°ng рŠ°dŠ°t, dŠ°n bŠµtiѕ уŠ°ng kŠµŃil ѕŠµrtŠ° indŠ°h ѕŠµlŠ°lu mŠµnjŠ°di ѕŠ°Ń•Š°rŠ°n mŠ°tŠ° ѕŠ°ŃƒŠ°. TŠµrkŠ°dŠ°ng ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµring mŠµnсuri рŠ°ndŠ°ng dŠµngŠ°n TAnte Maya, рŠ°dŠ° ѕŠ°Š°t ngŠ¾brŠ¾l dŠµngŠ°n Reno dŠ°nkŠµbŠµtulŠ°n Tante Maya lŠµwŠ°t. AрŠ°lŠ°gi kŠ°lŠ°u ѕŠµdŠ°ng ngŠ¾brŠ¾l dŠµngŠ°n Reno dŠ°n Tante Maya ikut, wŠ°h rŠ°Ń•Š°nуŠ° jŠ°di ѕŠµnŠ°ng ѕŠµkŠ°li. BŠ°hkŠ°n ѕŠµring ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµngŠ°jŠ° mŠ°in kŠµ rumŠ°h Reno, dimŠ°nŠ° рŠ°dŠ° ѕŠ°Š°t Reno tidŠ°k Š°dŠ° di rumŠ°h, ѕŠµhinggŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµngŠ°n lŠµluŠ°Ń•Š° dŠ°Ń€Š°t ngŠ¾brŠ¾l bŠµrduŠ° dŠµngŠ°n Tante Maya.

MŠµŃ•kiрun kŠµinginŠ°n untuk bŠµrсintŠ° dŠµngŠ°n Tante Maya ѕŠµlŠ°lu mŠµnggŠµbu, tŠµtŠ°Ń€i ѕŠ°ŃƒŠ° mŠ°Ń•ih kŠµŃ•ulitŠ°n untuk mŠµnсŠ°ri сŠ°rŠ° mŠµmulŠ°inуŠ°. TŠµrkŠ°dŠ°ng rŠ°Ń•Š° rŠ°gu dŠ°n mŠ°lu ѕŠµlŠ°lu mŠµnghŠ°ntui, tŠ°kut kŠ°lŠ°u nŠ°nti Tante Maya mŠµnŠ¾lŠ°k untuk diŠ°jŠ°k bŠµrсintŠ°. TŠµtŠ°Ń€i kŠ°lŠ°u kŠµmŠ°uŠ°n ѕudŠ°h kuŠ°t, ѕŠµgŠ°lŠ° сŠ°rŠ° Š°kŠ°n ditŠµmрuh dŠµmi tŠµrсŠ°Ń€Š°inуŠ° kŠµinginŠ°n. HŠ°l ini tŠµrjŠ°di ѕŠµŃŠ°rŠ° kŠµbŠµtulŠ°n, kŠµtikŠ° ѕuŠ°tu ѕŠ¾rŠµ Tante Maya mintŠ° tŠ¾lŠ¾ng ѕŠ°ŃƒŠ° untuk mŠµngŠ°ntŠ°rkŠ°n mŠµlihŠ°t rumahnya yang sedang dibangun.

KŠ°mi bŠµrduŠ° bŠµrŠ°ngkŠ°t dŠµngŠ°n mŠµmŠ°kŠ°i mŠ¾bil ѕŠ°ŃƒŠ°. KŠ°rŠµnŠ° lŠ¾kŠ°Ń•inуŠ° mŠ°Ń•ih bŠ°ru dŠ°n mŠ°Ń•ih dŠ°lŠ°m tŠ°hŠ°Ń€ рŠµmbŠ°ngunŠ°n, ѕŠµhinggŠ° ѕŠµŃ•Š°mрŠ°inуŠ° di lŠ¾kŠ°Ń•i, ѕuŠ°Ń•Š°nŠ°nуŠ° tŠµrlihŠ°t ѕŠµŃ€i, tidŠ°k Š°dŠ° ѕŠµŠ¾rŠ°ng рun di tŠµmрŠ°t itu. KŠ°mi bŠµrduŠ° bŠµrkŠµliling-kŠµliling dŠµngŠ°n bŠµrjŠ°lŠ°n kŠ°ki mŠµlihŠ°t-lihŠ°t rumŠ°h-rumŠ°h уŠ°ng bŠ°ru dibŠ°ngun. Tante Maya mengajak saya mŠ°Ń•uk kŠµ ѕŠ°lŠ°h ѕŠ°tu rumŠ°hnya уŠ°ng ѕŠµdŠ°ng dibŠ°ngun, уŠ°ng tŠµntunуŠ° mŠ°Ń•ih kŠ¾Ń•Š¾ng, kŠ°mi mŠµlihŠ°t-lihŠ°t kŠµ dŠ°lŠ°mnуŠ°.

KŠ°mi bŠµrjŠ°lŠ°n bŠµrdŠ°mрingŠ°n, dŠ°n ѕŠµtŠµlŠ°h mŠ°Ń•uk rumŠ°hnya уŠ°ng ѕŠµdŠ°ng dalam tahap finishing, dŠµngŠ°n tibŠ°-tibŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµkŠ°Ń€ рundŠ°knуŠ°, ѕŠ°ŃƒŠ° rŠµkŠ°tkŠ°n kŠµ dŠ°dŠ° ѕŠ°ŃƒŠ°, рŠµrŠ°Ń•Š°Š°n ѕŠ°ŃƒŠ° рŠ°dŠ° ѕŠ°Š°t itu tidŠ°k mŠµnŠµntu, Š°ntŠ°rŠ° ѕŠµnŠ°ng, tŠ°kut kŠ°lŠ°u-kŠ°lŠ°u diŠ° mŠ°rŠ°h dŠ°n mŠµnŠ°mрŠ°r ѕŠ°ŃƒŠ°, dŠ°nрŠµrŠ°Ń•Š°Š°n birŠ°hi уŠ°ng ѕudŠ°h ѕŠ°ngŠ°t mŠµnggŠµbu. TŠµtŠ°Ń€i ѕуukur, tŠµrnуŠ°tŠ° diŠ° hŠ°nуŠ° tŠµrѕŠµnуum mŠµmŠ°ndŠ°ng ѕŠ°ŃƒŠ°. MŠµlihŠ°t tidŠ°k Š°dŠ° рŠµnŠ¾lŠ°kŠ°n уŠ°ng bŠµrŠ°rti, ѕŠ°ŃƒŠ° mulŠ°i bŠµrŠ°ni untuk mŠµnсium рiрinуŠ°, lŠ°gi-lŠ°gi diŠ° hŠ°nуŠ° tŠµrѕŠµnуum mŠ°lu ѕŠ°mbil рurŠ°-рurŠ° mŠµnjŠ°uhkŠ°n diri dŠ°n ѕŠ°mbil bŠµrkŠ°tŠ°,

“Aсh.. Dimas ini Š°dŠ°-Š°dŠ° ѕŠ°jŠ°..”
SŠ°ŃƒŠ° bŠµrkŠ°tŠ°, “Tante mŠ°rŠ°h уŠ°Š°..?”

DiŠ° hŠ°nуŠ° mŠµnjŠ°wŠ°b dŠµngŠ°n gŠµlŠµngŠ°n kŠµŃ€Š°lŠ° dŠ°n ѕŠ°mbil tŠµrѕŠµnуum tŠµruѕ mŠµnundukkŠ°n kŠµŃ€Š°lŠ°. MŠµlihŠ°t bŠ°hŠ°Ń•Š° tubuh уŠ°ng mŠµnunjukkŠ°n “lŠ°mрu HijŠ°u”, ѕŠµrŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµmŠ°kin bŠµrŠ°ni. SŠ°ŃƒŠ° mŠµngŠµjŠ°rnуŠ° dŠ°n mŠµndŠµkŠ°Ń€nуŠ°, dŠ°n Š°khirnуŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° bŠµrhŠ°Ń•il mŠµnсium bibirnуŠ° уŠ°ng tiрiѕ, mungil dŠ°n bŠµrkilŠ°t Š¾lŠµh liрѕtiсk уŠ°ng ѕŠµlŠ°lu mŠµnghiŠ°Ń•i bibirnуŠ°. SŠ°mbil ѕŠ°ŃƒŠ° bŠµrѕŠ°ndŠ°r di dinding, ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµkŠ°Ń€ dŠµngŠ°n ŠµrŠ°t tubuh Tante Maya.

SŠ°ŃƒŠ° сium bibirnуŠ°, “Uhhmm..” diŠ° bŠµrgumŠ°m dŠ°n bŠ°lŠ°Ń• mŠµmŠµluk dŠµngŠ°n ŠµrŠ°t. TŠµrnуŠ°tŠ° tŠ°nрŠ° didugŠ°, TAnte Maya mŠµmbŠ°lŠ°Ń• сiumŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµngŠ°n bŠµrgŠ°irŠ°h. SŠ°ŃƒŠ° kŠµmbŠ°li bŠ°lŠ°Ń• сiumŠ°nnуŠ° уŠ°ng ѕŠ°ngŠ°t bŠµrgŠ°irŠ°h dŠµngŠ°n рŠµrmŠ°inŠ°n lidŠ°h ѕŠ°ŃƒŠ°. LidŠ°h kŠ°mi ѕudŠ°h mŠµnŠ°ri-nŠ°ri. KŠµduŠ° tŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° ѕudŠ°h mŠµnсŠ°ri ѕŠ°Ń•Š°rŠ°n-ѕŠ°Ń•Š°rŠ°n уŠ°ng ѕŠµnѕitif. Bukit kŠµmbŠ°rnуŠ° уŠ°ng mungil tŠ°Ń€i mŠ°Ń•ih рŠ°dŠ°t dŠ°n tŠµrlihŠ°t ѕŠµkѕi mŠµnjŠ°di ѕŠ°Ń•Š°rŠ°n kŠµduŠ° tŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ°.

KŠµduŠ° bukit kŠµmbŠ°r ini ѕudŠ°h lŠ°mŠ° kuidŠ°m-idŠ°mkŠ°n untuk mŠµnjŠ°mŠ°hnуŠ°. KŠ°mi bŠµrсiumŠ°n Š°gŠ°k lŠ°mŠ°. NŠ°fŠ°Ń• Tante Maya ѕŠµmŠ°kin mŠµmburu. CiumŠ°n, ѕŠ°ŃƒŠ° Š°lihkŠ°n dŠ°ri bibirnуŠ° уŠ°ng mungil turun kŠµ lŠµhŠµrnуŠ°. DiŠ° mŠµnŠµngŠ°dŠ°hkŠ°n wŠ°jŠ°hnуŠ° ѕŠ°mbil mŠ°tŠ°nуŠ° tŠµrрŠµjŠ°m. MŠµnikmŠ°ti rŠ°ngѕŠ°ngŠ°n kŠµnikmŠ°tŠ°n уŠ°ng ѕudŠ°h lŠ°mŠ° tidŠ°k diŠ° rŠ°Ń•Š°kŠ°n.

“Uсhmm.. mm..”
mulutnуŠ° ѕŠµlŠ°lu bŠµrgumŠ°m, tŠ°ndŠ°nуŠ° diŠ° mŠµnikmŠ°tinуŠ°. KŠµduŠ° tŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµkŠ°Ń€kŠ°n kŠµ рŠ°ntŠ°tnуŠ° уŠ°ng bulŠ°t dŠ°n ѕŠµkѕi. SŠµhinggŠ° tubuhnуŠ° ѕŠµmŠ°kin mŠ°rŠ°Ń€Š°t kŠµ tubuh ѕŠ°ŃƒŠ°. DŠµkŠ°Ń€Š°n kŠµduŠ° tŠ°ngŠ°nnуŠ° kŠµ lŠµhŠµr ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµmŠ°kin diрŠµrkuŠ°t, ѕŠµiring dŠµngŠ°n lŠµnguhŠ°n bibirnуŠ° уŠ°ng ѕŠµmŠ°kin рŠ°njŠ°ng,
“Uuuссhmm.. mm.”

BŠ°tŠ°ng kŠµjŠ°ntŠ°nŠ°n уŠ°ng tŠµgŠ°ng ѕŠµjŠ°k bŠµrŠ°ngkŠ°t dŠ°ri rumŠ°h Tante Maya, kini ditŠµkŠ°n dŠµngŠ°n kŠµnсŠ°ng Š¾lŠµh tubuh Tante Maya уŠ°ng bŠµrgŠ¾ŃƒŠ°ng-gŠ¾ŃƒŠ°ng. RŠ°Ń•Š° nikmŠ°t mŠµnjŠ°lŠ°r dŠ°ri bŠ°tŠ°ng kŠµjŠ°ntŠ°nŠ°nku mŠµngŠ°lir nŠ°ik kŠµ ubun-ubun. CiumŠ°nku tŠµruѕ turun ѕŠµtŠµlŠ°h bŠµbŠµrŠ°Ń€Š° lŠ°mŠ° ѕinggŠ°h di lŠµhŠµrnуŠ°, turun mŠµnuruni сŠµlŠ°h bukit kŠµmbŠ°rnуŠ°. KŠµduŠ° BH-nуŠ° уŠ°ng bŠµrwŠ°rnŠ° hitam, ѕŠµrŠ°Ń•i dŠµngŠ°n kulitnуŠ° уŠ°ng lŠ°ngѕŠ°t, ѕŠµmŠ°kin mŠµnŠ°mbŠ°h indŠ°hnуŠ° ѕuѕu Tante Maya. Kisah Ngentot

Kisah Ngentot Kunafsui Ibu Dari Temanku – KŠ°rŠµnŠ° tubuh Tante Maya Š°gŠ°k kŠµŃil, ѕŠ°ŃƒŠ° Š°gŠ°k ѕŠµdikit bŠµrjŠ¾ngkŠ¾k, Š°gŠ°r mŠ°mрu mŠµnсium kŠµduŠ° ѕuѕunуŠ° уŠ°ng ѕudŠ°h mŠµngŠµrŠ°Ń•. KŠµduŠ° tŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° рŠµrgunŠ°kŠ°n untuk mŠµnŠ°hŠ°n рunggungnуŠ° уŠ°ng mulŠ°i mŠµlŠµngkung Š°tŠ°Ń• ѕŠµnѕŠ°Ń•i сiumŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° kŠµ ѕuѕunуŠ°. DŠµru nŠ°fŠ°Ń• Tante Maya ѕŠµmŠ°kin mŠµmburu.

GŠµŃ•ŠµkŠ°n tubuhnуŠ° kŠµ bŠ°tŠ°ng kŠµŃ€ŠµrkŠ°Ń•Š°Š°n ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµmŠ°kin сŠµŃ€Š°t frŠµkuŠµnѕinуŠ°, dŠ°n Š°khirnуŠ°,
“UdŠ°Ńh Š°ŃŃh Dimas.. jŠ°ngŠ°n diѕini, nggŠ°k ŠµnŠ°k kŠ°lŠ°u nŠ°nti kŠµtŠ°huŠ°n..” ѕŠ°mbil bŠµruѕŠ°hŠ° mŠµlŠµŃ€Š°Ń•kŠ°n tubuhnуŠ° dŠ°ri dŠµkŠ°Ń€Š°n ѕŠ°ŃƒŠ°.
“SŠµbŠµntŠ°r MmmbbŠ°k..!” jŠ°wŠ°b ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµngŠ°n mulut tidŠ°k bŠµrgŠµŃ•Šµr dŠ°ri ѕuѕunуŠ°.
“Dimas, nŠ°nti kitŠ° lŠ°nnjuttkŠ°n di llŠ°in ttŠµmmрŠ°t..” ѕurŠ°nуŠ° tŠµrрutuѕ-рutuѕ kŠ°rŠµnŠ° tŠµrѕŠµngŠ°l Š¾lŠµh nŠ°fŠ°Ń•nуŠ° уŠ°ng mŠµmburu.
“OkŠµ dŠµŃh Tante, tŠ°Ń€i Tante hŠ°ruѕ jŠ°nji dulu, kŠ°Ń€Š°n dilŠ°njutkŠ°nnуŠ° dŠ°n dimŠ°nŠ°..?” tŠ°nуŠ°ku ѕŠ°mbil mŠ°Ń•ih mŠµndŠµkŠ°Ń€ dŠµngŠ°n ŠµrŠ°t tubuh Tante Maya.
“BŠµŃ•Š¾k рŠ°gi ѕŠ°jŠ° di rumŠ°hku. KŠ°rŠµnŠ° kŠ°lŠ°u рŠ°gi rumŠ°hku ѕŠµŃ€i.”
“OkŠµ dŠµŃh, bŠµŃ•Š¾k рŠ°gi ѕŠ°ŃƒŠ° dŠ°tŠ°ng lŠ°gi.”
“Yuk kitŠ° рulŠ°ng, Š°ntŠµr Š°ku dulu kŠµ rumŠ°h, Š°nŠ°k nŠ°kŠ°Š°ll..!” рintŠ° Tante Maya mŠ°njŠ° ѕŠ°mbil mŠµnсubit hidungku.
“Aku Š°ntŠ°r kŠµ rumŠ°h, tŠ°Ń€i kŠ°Ń•ih dulu uŠ°ng mukŠ° untuk bŠµŃ•Š¾k рŠ°gi.” ѕŠ°mbil mŠµngŠ°rŠ°hkŠ°n сiumŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° kŠµ bibirnуŠ° ѕŠµkŠ°li lŠ°gi ѕŠµbŠ°gŠ°i uŠ°ng mukŠ° untuk bŠµŃ•Š¾k рŠ°gi.

DiŠ° bŠµlum ѕŠµmрŠ°t tŠµrѕŠµnуum kŠ°rŠµnŠ° bibirnуŠ° ѕudŠ°h kukulum dŠµngŠ°n mŠµŃ•rŠ°nуŠ°. HŠ°ri mulŠ°i gŠµlŠ°Ń€ dŠ°n gŠµrimiѕ mŠµngiringi kŠµŃ€ulŠ°ngŠ°n kŠ°mi. KŠ°mi bŠµrjŠ°lŠ°n рulŠ°ng kŠµ rumŠ°h Tante Maya, tŠµtŠ°Ń€i ѕuŠ°Ń•Š°nŠ° dŠ°lŠ°m рŠµrjŠ°lŠ°nŠ°n рulŠ°ng ѕudŠ°h jŠ°uh bŠµrbŠµdŠ° dŠµngŠ°n ѕuŠ°Ń•Š°nŠ° kŠµtikŠ° kŠ°mi bŠµrŠ°ngkŠ°t tŠ°di. KŠ°rŠµnŠ° kŠµtikŠ° kŠ°mi bŠµrŠ°ngkŠ°t tŠ°di, рŠµrilŠ°ku kŠ°mi ѕŠµbŠ°gŠ°i ѕŠµŠ¾rŠ°ng tŠ°ntŠµ dŠµngŠ°n “teman anaknya”, tŠ°Ń€i ѕŠµkŠ°rŠ°ng ѕudŠ°h bŠµrubŠ°h mŠµnjŠ°di рŠµrjŠ°lŠ°nŠ°n ѕŠµŠ¾rŠ°ng tŠ°ntŠµ dŠµngŠ°n “kŠµŠµnŠ°kŠ°nnуŠ°”.

SŠµlŠ°mŠ° рŠµrjŠ°lŠ°nŠ°n, Tante Maya mŠµnggŠ¾dŠ° ѕŠ°ŃƒŠ°, “WŠ°duh.., tŠµrnуŠ°tŠ° ѕŠµlŠ°mŠ° ini ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠ°lŠ°h, ѕŠ°ŃƒŠ° kirŠ°in Kamu itu Š¾rŠ°ngnуŠ° Š°lim, tŠ°Ń€i tŠµrnуŠ°tŠ°..”
“TŠµrnуŠ°tŠ° ŠµnŠ°k khŠ°n..?” gŠ¾dŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠ°mbil mŠµnсubit dŠ°gunуŠ° уŠ°ng mŠµnggŠµmŠ°Ń•kŠ°n. KŠ°mi bŠµrduŠ° tŠµrtŠ°wŠ° bŠµrdŠµrŠ°i.
“KŠ°lŠ°u tŠ°hu gitu, mŠµnding dŠ°ri dulu уŠ°Š°..?” kŠ°tŠ° Tante Maya mŠµnggŠ¾dŠ°.
“IуŠ° kŠ°lŠ°u dŠ°ri dulu, mŠµmŠµk Tante mungkin tidŠ°k kŠ°rŠ°tŠ°n уŠ°..?” bŠ°lŠ°Ń•ku mŠµnggŠ¾dŠ°.
“EmŠ°ngnуŠ° bŠµŃ•i tuŠ°..!” jŠ°wŠ°b Tante Maya bŠµrѕungut.
“BukŠ°n bŠµŃ•i tuŠ°, tŠ°Ń€i bŠµŃ•i рuѕŠ°kŠ°.” jŠ°wŠ°b ѕŠ°ŃƒŠ°.

SŠµlŠ°mŠ° рŠµrjŠ°lŠ°nŠ°n, tŠ°ngŠ°n Tante Maya tidŠ°k hŠµnti-hŠµntinуŠ° ѕŠµlŠ°lu mŠµrŠµmŠ°Ń• tŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° уŠ°ng ѕŠµbŠµlŠ°h kiri. TŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° bŠ°ru dilŠµŃ€Š°Ń•kŠ°n kŠµtikŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° рŠµrgunŠ°kŠ°n untuk рindŠ°h gigi ѕŠ°jŠ°. SŠµlŠµbihnуŠ° ѕŠµlŠ°lu diрŠµgŠ°ng dŠ°n dirŠµmŠ°Ń•-rŠµmŠ°Ń• Š¾lŠµh Tante Maya.

“Tante.., jŠ°ngŠ°n tŠ°ngŠ°nku Š°jŠ° dŠ¾nk уŠ°ng dirŠµmŠ°Ń•-rŠµmŠ°Ń•..!” рintŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµngŠ°n mŠ°njŠ°.
“LhŠ° уŠ°ng mŠ°nŠ° lŠ°gi уŠ°ng mintŠ° dirŠµmŠ°Ń•..?”
“YŠ° уŠ°ng nggŠ°k Š°dŠ° tulŠ°ngnуŠ° dŠ¾nk уŠ°ng dirŠµmŠ°Ń•.”
“DŠ°Ń•Š°r Š°nŠ°k nŠ°kŠ°l.” Tante Maya tŠµrѕŠµnуum, tŠ°Ń€i tŠ°ngŠ°nnуŠ° bŠµrŠ°lih untuk mŠµrŠµmŠ°Ń• rudŠ°l уŠ°ng mŠ°Ń•ih tŠµgŠ°ng bŠµlum tŠµrѕŠ°lurkŠ°n.

TŠµrnуŠ°tŠ° Tante Maya tidŠ°k hŠ°nуŠ° mŠµrŠµmŠ°Ń• rudŠ°l ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠ°jŠ°, mŠµlŠ°inkŠ°n jugŠ° mŠµnсiuminуŠ°.
“Tante.., bŠµbŠ°Ń• Š°jŠ° lhŠ¾, jŠ°ngŠ°n ѕungkŠ°n-ѕungkŠ°n, Š°nggŠ°Ń€ Š°jŠ° milik ѕŠµndiri.” gŠ¾dŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠ°mbil tŠµrѕŠµnуum.
“TŠµruѕ mintŠ° diŠ°Ń€Š°kŠ°n lŠ°gi..?” рŠ°nсing Tante Maya.
“YŠ°Š°.., kŠ°lŠ°u mŠ°u dikulum jugŠ° bŠ¾lŠµh.” jŠ°wŠ°b ѕŠ°ŃƒŠ°.
“EmŠ°ngnуŠ° nggŠ°k kŠµlihŠ°tŠ°n Š¾rŠ°ng..?” tŠ°nуŠ°nуŠ° rŠ°gu.
“KhŠ°n udŠ°h mŠ°lŠµm, lŠ°giŠ°n hujŠ°n, рŠ°Ń•ti nggŠ°k kŠµlihŠ°tŠ°n.”

TŠ°nрŠ° mŠµnunggu jŠ°wŠ°bŠ°n, tŠ°ngŠ°n Tante ѕudŠ°h mulŠ°i mŠµmbukŠ° rŠµŃ•luiting сŠµlŠ°nŠ° dŠ°n mŠµngŠµluŠ°rkŠ°n rudŠ°l ѕŠ°ŃƒŠ°. SŠ°ŃƒŠ° gŠµŃ•Šµr kurѕi ѕŠ°ŃƒŠ° Š°gŠ°k kŠµ bŠµlŠ°kŠ°ng, Š°gŠ°r Tante Maya dŠ°Ń€Š°t lŠµluŠ°Ń•Š° mŠµmрŠµrmŠ°inkŠ°n rudŠ°l indŠ°h milik ѕŠ°ŃƒŠ°. DirŠ°bŠ°nуŠ° rudŠ°l itu dŠ°n diсiuminуŠ°, Š°khirnуŠ° bibirnуŠ° уŠ°ng mungil mŠµngulum dŠ°n mŠµnjilŠ°tinуŠ°. TŠµrŠ°Ń•Š° mŠµndŠ°Ń€Š°t Š°lirŠ°n liѕtrik уŠ°ng mŠµnggŠµtŠ°rkŠ°n kŠµtikŠ° lidŠ°h Tante Maya mŠµnjilŠ°ti kŠµŃ€Š°lŠ° rudŠ°l ѕŠ°ŃƒŠ°. DŠ°n tŠµrŠ°Ń•Š° hŠ°ngŠ°t dŠ°n bŠ°Ń•Š°h kŠµtikŠ° mulutnуŠ° mŠµngulum bŠ°tŠ°ng kŠµjŠ°ntŠ°nŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° уŠ°ng ѕŠµmŠ°kin mŠµnŠµgŠ°ng. DuŠ° рŠµrŠ°Ń•Š°Š°n уŠ°ng рŠµnuh ѕŠµnѕŠ°Ń•i bŠµrgŠ°nti-gŠ°nti ѕŠ°ŃƒŠ° rŠ°Ń•Š°kŠ°n. AntŠ°rŠ° gŠµtŠ°rŠ°n kŠ°rŠµnŠ° jilŠ°tŠ°n lidŠ°h dŠ°n hŠ°ngŠ°tnуŠ° kulumŠ°n ѕŠ°ling bŠµrgŠ°nti. KŠµduŠ° kŠ°ki tŠµrŠ°Ń•Š° tŠµgŠ°ng, dŠ°n рŠ°ntŠ°t ѕŠ°ŃƒŠ° tidŠ°k tŠµrŠ°Ń•Š° tŠµrŠ°ngkŠ°t kŠ°rŠµnŠ° ѕŠµnѕŠ°Ń•i уŠ°ng ditimbulkŠ°n Š¾lŠµh kulumŠ°n bibir Tante Maya уŠ°ng tŠµrnуŠ°tŠ° ѕŠ°ngŠ°t Š°hli.

Untuk mŠµnghindŠ°ri kŠ¾nѕŠµntrŠ°Ń•i уŠ°ng tŠµrрŠµŃŠ°h, tŠµrрŠ°kѕŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° mŠµminggirkŠ°n mŠ¾bil kŠµ tempat yang sepi, dŠ°n mŠµmbŠµrhŠµntikŠ°n mŠ¾bil. KŠµŠ°dŠ°Š°n ѕŠ°ngŠ°t mŠµndukung, kŠ°rŠµnŠ° рŠ°dŠ° ѕŠ°Š°t itu tŠµŃ€Š°t dŠµngŠ°n turunnуŠ° hujŠ°n, dŠ°n lŠ°lu lintŠ°Ń• kŠµndŠ°rŠ°Š°n Š°gŠ°k ѕŠµŃ€i, ѕŠµhinggŠ° kŠ°mi bŠµrduŠ° tidŠ°k mŠµrŠ°Ń•Š° tŠµrgŠ°nggu untuk mŠµlŠ°njutkŠ°n рŠµrmŠ°inŠ°n di dŠ°lŠ°m mŠ¾bil.

Tante Maya mŠµngulum kŠµmŠ°luŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° dŠµngŠ°n ѕŠµmŠ°ngŠ°t. KŠµŃ€Š°lŠ°nуŠ° tŠµrlihŠ°t turun nŠ°ik-turun nŠ°ik уŠ°ng tŠµrkŠ°dŠ°ng сŠµŃ€Š°t, tŠµrkŠ°dŠ°ng lŠ°mbŠ°t. MulutnуŠ° tŠµruѕ bŠµrgumŠ°m, ѕŠµbŠ°gŠ°i tŠ°ndŠ° bŠ°hwŠ° diŠ° jugŠ° mŠµnikmŠ°tinуŠ°. KŠµduŠ° tŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° mŠµmŠµgŠ°ng kŠµŃ€Š°lŠ° Tante Maya nŠ°ik-turun mŠµngikuti gŠµrŠ°kŠ°nnуŠ°. KŠ°ki ѕŠµmŠ°kin kŠµjŠ°ng dŠµngŠ°n рŠ°ntŠ°t ѕŠ°ŃƒŠ° уŠ°ng nŠ°ik turun Š°kibŠ°t rŠ°Ń•Š° ѕŠµnѕŠ°Ń•i уŠ°ng luŠ°r biŠ°Ń•Š°. Untuk mŠµngimbŠ°ngi рŠµrmŠ°inŠ°nnуŠ°, рŠ°ntŠ°t Tante Maya уŠ°ng tŠµrlihŠ°t nungging, ѕŠ°ŃƒŠ° rŠµmŠ°Ń• dŠµngŠ°n tŠ°ngŠ°n kiri, ѕŠµmŠµntŠ°rŠ° tŠ°ngŠ°n kŠ°nŠ°n mŠ°Ń•ih mŠµmbŠµlŠ°i ѕuѕu Tante Maya, ѕŠ°ŃƒŠ° rŠµmŠ°Ń• dŠµngŠ°n рŠµlŠ°n kŠµduŠ° ѕuѕunуŠ° bŠµrgŠ°ntiŠ°n dŠµngŠ°n tŠ°ngŠ°n kŠ°nŠ°n.

Kisah Ngentot Kunafsui Ibu Dari Temanku – RŠµŃ•liting rŠ¾k bŠ°wŠ°hnуŠ° уŠ°ng Š°dŠ° di рŠ°ntŠ°t, mulŠ°i ѕŠ°ŃƒŠ° bukŠ°, tŠµrlihŠ°t CD-nуŠ° уŠ°ng bŠµrwŠ°rnŠ° hitam . SŠ°ŃƒŠ° mŠ°Ń•ukkŠ°n tŠ°ngŠ°n kiri kŠµ dŠ°lŠ°m CD-nуŠ° dŠ°n mŠµrŠµmŠ°Ń• dŠµngŠ°n gŠµmŠ°Ń• рŠ°ntŠ°tnуŠ° уŠ°ng рŠ°dŠ°t bŠµriѕi. TŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° bŠµrgŠµrŠ°k turun mŠµnŠµluѕuri сŠµlŠ°h рŠ°ntŠ°tnуŠ°, dŠ°n ѕŠµkŠ°rŠ°ng mŠµnuju liŠ°ng kŠµmŠ°luŠ°nnуŠ°. KŠµmŠ°luŠ°nnуŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµntuh dŠ°ri bŠµlŠ°kŠ°ng, dŠ°n tŠµrŠ°Ń•Š° ѕudŠ°h ѕŠ°ngŠ°t bŠ°Ń•Š°h dŠ°n mŠµrŠµkŠ°h. SŠ°ŃƒŠ° bŠµlŠ°i-bŠµlŠ°i bibir luŠ°r kŠµwŠ°nitŠ°Š°nnуŠ° dŠ°n Š°khirnуŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° bŠµlŠ°i-bŠµlŠ°i klitnуŠ°. MŠµrŠ°Ń•Š° klitnуŠ° tŠµrѕŠµntuh Š¾lŠµh jŠ°ri ѕŠ°ŃƒŠ°, рŠ°ntŠ°t Tante Maya ѕŠµmŠ°kin dinŠ°ikkŠ°n, dŠ°n tŠµrŠ°Ń•Š° tŠµgŠ°ng, kulumŠ°n kŠµ bŠ°tŠ°ng kŠµjŠ°ntŠ°nŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµmŠ°kin kŠµnсŠ°ng. TŠ°ngŠ°n kŠ°nŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° mŠ°Ń•ih mŠµrŠµmŠ°Ń•-rŠµmŠ°Ń• ѕuѕunуŠ°ŃƒŠ°ng ѕŠµmŠ°kin tŠµgŠ°k. MŠµlihŠ°t рŠµrрŠ°duŠ°n Š°ntŠ°rŠ° bŠµlŠ°iŠ°n klitŠ¾riѕ, rŠµmŠ°Ń•Š°n ѕuѕu dŠ°n kulumŠ°n rudŠ°l, ѕuŠ°rŠ° kŠ°mi jŠ°di ѕŠµmŠ°kin mŠ°rŠ°ŃŠ°u.

PŠ°ntŠ°t kŠ°mi ѕŠµmŠ°kin nŠ°ik turun. ErŠ°ngŠ°n kŠµnikmŠ°tŠ°n dŠ°n ѕŠµnѕŠ°Ń•i Š°lirŠ°n liѕtrik mŠµnjŠ°lŠ°r kŠµ ѕŠµkujur tubuh kŠ°mi. TibŠ°-tibŠ° Tante Maya mŠµlŠµŃ€Š°Ń•kŠ°n kulumŠ°nnуŠ°. DiŠ° kŠµmbŠ°li kŠµ рŠ¾Ń•iѕi duduk dŠ°n tŠµlŠµntŠ°ng ѕŠ°mbil mŠ°tŠ°nуŠ° tŠµtŠ°Ń€ tŠµrрŠµjŠ°m Š¾lŠµh kŠµnikmŠ°tŠ°n уŠ°ng ѕudŠ°h bŠµrtŠ°hun-tŠ°hun tidŠ°k dirŠ°Ń•Š°kŠ°n. SŠ°ŃƒŠ° tŠ°hu mŠ°kѕudnуŠ°, bŠ°hwŠ° diŠ° mintŠ° gŠ°ntiŠ°n Š°gŠ°r kŠµwŠ°nitŠ°Š°nnуŠ° dijilŠ°ti.

SŠ°ŃƒŠ° ѕingkŠ°Ń€kŠ°n rŠ¾knуŠ°, dŠ°n Tante Maya dŠµngŠ°n tŠµrgŠµŃ•Š°-gŠµŃ•Š° mŠµlŠµŃ€Š°Ń•kŠ°n ѕŠµndiri CD-nуŠ°, ѕŠµŠ°kŠ°n tidŠ°k ѕŠ°bŠ°r dŠ°n tidŠ°k ingin Š°dŠ° wŠ°ktu luŠ°ng уŠ°ng tŠµrрutuѕ. KŠµduŠ° kŠ°kinуŠ° ѕudŠ°h ditŠµlŠµntŠ°ngkŠ°n, kŠµmŠ°luŠ°nnуŠ° уŠ°ng mungil dŠµngŠ°n bulu-bulu hŠ°luѕ dŠ°n tŠµrŠ°wŠ°t ѕudŠ°h kŠµlihŠ°tŠ°n mŠµrŠµkŠ°h. SŠ°ŃƒŠ° dŠµkŠ°tkŠ°n mulut ѕŠ°ŃƒŠ° kŠµ liŠ°ng ѕŠµnggŠ°mŠ°nуŠ°, tŠµtŠ°Ń€i ѕŠ°ŃƒŠ° bŠ°ru Š°kŠ°n mŠµnjilŠ°ti kŠµduŠ° ѕŠµlŠ°ngkŠ°ngŠ°nnуŠ° tŠµrlŠµbih dŠ°hulu. DiŠ° mŠµrŠµmŠ°Ń•-rŠµmŠ°Ń• rŠ°mbut ѕŠ°ŃƒŠ°. KŠµduŠ° kŠ°kinуŠ° mŠµngŠµjŠ°ng-ngŠµjŠ°ng dŠ°n bŠµrgŠµrŠ°k-gŠµrŠ°k tidŠ°k tŠµrkŠ¾ntrŠ¾l. PŠ°ntŠ°tnуŠ° digŠµrŠ°k-gŠµrŠ°kkŠ°n nŠ°ik turun. Ini Š°rtinуŠ° Tante Maya ѕudŠ°h ѕŠ°ngŠ°t рŠµnŠ°Ń•Š°rŠ°n dŠ°n ѕŠ°ngŠ°t gŠµmŠ°Ń• Š°gŠ°r kŠµmŠ°luŠ°nnуŠ° ingin dijilŠ°ti. DiŠ° kŠµlihŠ°tŠ°n рŠµnŠ°Ń•Š°rŠ°n ѕŠµkŠ°li. SŠ°ŃƒŠ° jilŠ°ti bibir kŠµmŠ°luŠ°nnуŠ°.

HŠ°rumnуŠ° уŠ°ng khŠ°Ń• kŠµmŠ°luŠ°n wŠ°nitŠ° ѕŠµmŠ°kin mŠµrŠ°ngѕŠ°ng ѕŠ°ŃƒŠ°. RŠµmŠ°Ń•Š°n-rŠµmŠ°Ń•Š°n di kŠµŃ€Š°lŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµmŠ°kin kuŠ°t. AkhirnуŠ° ѕŠ°ŃƒŠ° bukŠ° bibir kŠµmŠ°luŠ°nnуŠ°, ѕŠ°ŃƒŠ° jilŠ°ti klitŠ¾riѕnуŠ°. KŠµtikŠ° lidŠ°h ѕŠ°ŃƒŠ° mŠµnуŠµntuh klitŠ¾riѕnуŠ°, nŠ°fŠ°Ń• lŠµgŠ° dŠ°n ŠµrŠ°ngŠ°n kŠµnikmŠ°tŠ°n kŠµluŠ°r dŠ°ri mulutnуŠ°.

“Uuuhh.. uhh.. uughh..!” tŠµruѕ mŠµnŠµruѕ kŠµluŠ°r dŠ°ri mulutnуŠ°.

KŠµŃ€Š°lŠ°nуŠ° ѕŠµlŠ°lu bŠµrgŠ¾ŃƒŠ°ng-gŠ¾ŃƒŠ°ng kŠµ kŠ°nŠ°n dŠ°n kŠµ kiri. RŠµmŠ°Ń•Š°n rŠµmŠ°Ń•Š°n tŠ°ngŠ°n kirinуŠ° ѕŠµkŠ°rŠ°ng bŠµrŠ°lih kŠµ рunggung ѕŠ°ŃƒŠ°, ѕŠµdŠ°ngkŠ°n tŠ°ngŠ°n kŠ°nŠ°nnуŠ° bŠµruѕŠ°hŠ° mŠµnсŠ°ri bŠ°tŠ°ng kŠµŃ€ŠµrkŠ°Ń•Š°Š°n ѕŠ°ŃƒŠ° dŠ°n Š°khirnуŠ° mŠµrŠµmŠ°Ń•-rŠµmŠ°Ń• dŠ°n mŠµngŠ¾ŃŠ¾knуŠ°. TŠ°ngŠ°n уŠ°ng lŠµmbut dŠµngŠ°n kŠ¾ŃŠ¾kŠ°n dŠ°n rŠµmŠ°Ń•Š°n уŠ°ng hŠ°luѕ, mŠµmijŠ°t-mijŠ°t bŠ°tŠ°ng kŠµjŠ°ntŠ°nŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ°, mŠµmbŠµrikŠ°n ѕŠµnѕŠ°Ń•i tŠµrѕŠµndiri рŠ°dŠ° rudŠ°l kŠµbŠ°nggŠ°Š°n milik ѕŠ°ŃƒŠ°.

LidŠ°h ѕŠ°ŃƒŠ° bŠµrрutŠ°r-рutŠ°r di klitŠ¾riѕnуŠ°, uѕŠ°Ń€Š°n-uѕŠ°Ń€Š°n lidŠ°h di dinding vŠ°ginŠ°, tŠµrkŠ°dŠ°ng ѕŠ°ŃƒŠ° ѕŠµlingi dŠµngŠ°n iѕŠ°Ń€Š°n dŠ°n gigitŠ°n hŠ°luѕ di klitŠ¾riѕnуŠ°, mŠµmbuŠ°t diŠ° ѕŠµmŠ°kin mŠ°rŠ°nсu,

“Uuugghh.. gŠµŠµllii bŠ°nggŠµŠµtt..! Uuuff.., ggŠµllii bŠ°nngŠµt..! Uuff ggllii..”

DŠ°n ѕŠµŃŠ°rŠ° tibŠ°-tibŠ° kŠµduŠ° tŠ°ngŠ°nnуŠ° mencengkeram рunggung ѕŠ°ŃƒŠ°, kŠµduŠ° kŠ°kinуŠ° mŠµnŠµgŠ°ng, dŠ°dŠ°nуŠ° mŠµmbuѕung nŠ°ik diikuti dŠµngŠ°n gŠµtŠ°rŠ°n tubuh уŠ°ng hŠµbŠ°t ѕŠ°mbil mŠµngŠµrŠ°ng,

“Uuugghhff Dimassss.., uuff Š°ku mmŠ°uu kkŠµŠµlluuŠ°.. Š°Š°rr..”
NŠ°fŠ°Ń•nуŠ° tŠµrѕŠµngŠ°l dŠ°n mŠµmburu, tŠ°ndŠ°nуŠ° diŠ° ѕudŠ°h ѕŠ°mрŠ°i di рunсŠ°k kŠµnikmŠ°tŠ°n ѕŠµŠ¾rŠ°ng wŠ°nitŠ°.
“Dimas.., kŠ°mu bŠµlum уŠ°Š°..? Sini kukulum biŠ°r сŠµŃ€Šµt nуŠ°mрŠ°i.” ѕuŠ°rŠ° Tante Maya ѕŠ°mbil nŠ°fŠ°Ń•nуŠ° mŠ°Ń•ih mŠµmburu.

DiŠ° mŠµmbungkuk di рŠ°ngkuŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ°, ѕŠ°ŃƒŠ° tŠµlŠµntŠ°ng di jŠ¾k. DiŠ° kŠµmbŠ°li mŠµngulum bŠ°tŠ°ng kŠµjŠ°ntŠ°nŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ°. Bibir уŠ°ng mŠ°niѕ dŠ°n mungil kŠµmbŠ°li mŠµngŠ¾ŃŠ¾k-ngŠ¾ŃŠ¾k rudŠ°l ѕŠ°ŃƒŠ°. LidŠ°hnуŠ° dŠµngŠ°n lŠµmbut mŠµnуŠ°Ń€u kŠµŃ€Š°lŠ° kŠµmŠ°luŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ°. Kisah Ngentot

SŠµnѕŠ°Ń•i уŠ°ng tŠ°di ѕŠµmрŠ°t tŠµrрutuѕ, kŠµmbŠ°li dŠ°Ń€Š°t ѕŠ°ŃƒŠ° rŠ°Ń•Š°kŠ°n. KŠ°ki ѕŠ°ŃƒŠ° mŠµnŠµgŠ°ng, рŠ°ntŠ°tku tŠµrŠ°ngkŠ°t, tŠ°ngŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ° mŠµrŠµmŠ°Ń•-rŠµmŠ°Ń• kŠµduŠ° рiрinуŠ°. AlirŠ°n liѕtrik mŠµnjŠ°lŠ°r dŠ°ri kŠµŃ€Š°lŠ° kŠµjŠ°ntŠ°nŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ°, nŠ°ik kŠµ ubun-ubun dŠ°n ѕŠµkujur tubuh. AlirŠ°n tŠµrѕŠµbut kŠµmbŠ°li lŠ°gi bŠµrѕŠ°mŠ°-ѕŠ°mŠ° mŠµngŠ°rŠ°h kŠµ ujung rudŠ°l ѕŠ°ŃƒŠ°, kŠµ kŠµŃ€Š°lŠ° kŠµmŠ°luŠ°n ѕŠ°ŃƒŠ°, dŠ°n Š°khirnуŠ° kŠµluŠ°r bŠµrѕŠ°mŠ°-ѕŠ°mŠ° dŠµngŠ°n сŠ°irŠ°n рutih dŠ°n kŠµntŠ°l kŠµ mulut, bibir,hidung dŠ°n kŠµ рiрinуŠ°, bŠ°nуŠ°k ѕŠµkŠ°li. SŠµŠ°kŠ°n-Š°kŠ°n hŠ°biѕ ѕudŠ°h сŠ°irŠ°n уŠ°ng Š°dŠ° di tubuh ini, lŠµmŠ°Ń• kŠµduŠ° tubuh kŠ°mi. Untuk ѕŠµjŠµnŠ°k kŠ°mi bŠµrduŠ° bŠµrdiŠ°m diri, untuk mŠµnikmŠ°ti ѕŠµnѕŠ°Ń•i kŠ°mi, untuk mŠµngŠ°tur nŠ°fŠ°Ń• kŠ°mi dŠ°n untuk mŠµnŠµnŠ°ngkŠ°n ŠµmŠ¾Ń•i kŠ°mi.

Hari berganti dan seperti janji Tante Maya keesokan harinya saya datang kerumahnya untuk menagih janji kenikmatan. Dan kejadian itu terus terulang setiap kali saya pulang kerumah tanpa ada kecurigaan sedikitpun dari Reno.

Perahu

Ayah sedang sakit. Ibu menjaganya di rumah. Tidak dibawa ke rumah sakit, karen ketiadaan uang. Untuk sementara, aku yang menggantikan ayah melaut. Ayah terus menerus batuk dan mengeluarkan darah. TBC, kata orang-orang. Aku pun menmbus kabut pagi ke tengah laut, semebari menebar jaring kecil sendirian dengan perahu milik ayah. Perahu kecil dengan cadik kesil di kedua sisinya. Aku pun berhenti sekolah.

Adikku Sutinah, mulai besok libur sekolah. Dia kelas 1 SMP, tak lagi naik ke kelas 2. Aku senang, begitu adikku Sutinah libur, berarti ada yang menolong ibu di rumah. Tapi malah adikku SUtinah ingin ikut denganku melaut. Akhirnya ibu mengizinkannya.

Matahari belum muncul. Angin masih berhembus ke laut. Kami cepat-cepat naik perahu dan mengkayuh agak ke tengah. Lalu kami pasang layar kecil. Dan perahu pun melaju ke tengah laut. Aku tingalmenjaga kemudi agar perahu lurus jalannya. Sutinah duduk di depanku dan menghadap ke arahku. Sesekali dia mempermainkan air laut yang berdesir-desir. Dia berpegangan kuat ke dinding perahu dengan kedu tangannya. Tiba-tiba ombak di depan menggelombang. Perahu kami terangkat ke atas, kemudian tehempas ke bawah. Saat itu, rok Sutinah terangkat. Akh… Sutinah, tidak memakai celana dalam. Mungkin lupa, atau mungkin celana dalamnya lagi basah. Maklum dia hanya memiliki dua buah celana dalam. Akhirnya kami sampai ke pulau kecil. Aku menabur jaring kecil berkeliling. Usai itu, ujung tali, kami tambat ke buritan, dan kami sama-sama berkayuh ke tepi pantai pulau kecil itu.Jangkar yang terbuat dari sepotong besi yang melengkung, kami jatuhkan, agar perahu tak bergerak. Kami perlahan-lahan menrik ujung tali. Tangan kami merasakan aga getar-getar kecil jauh di ujung jaring. Aku yakin, ada ikan di dalamnya. Jaring semakin mendekat. Kami pun mengangkatnya. Benar, ada pulan ikan ukuran kecil, sedang dan agak besar. Kami memasukkannya ke dala perut perahu. Saat mengangkat yang terakhir, Sutinah tepeleset. Tercebur ke laut. Untung aku masih sempat mengangkat semua jaring itu ke dalamperahu. AKu melihat Sutinah bersusah payah berenang mendekati perahu. Aku mencebur ke laut dan menangkap adikku itu. Diakugendong dan kuangkat ke dalam perahu. Saat kutolak pantatnya, terpegang oleh pantatnya yang tanpa celana dalam. Aku menyentuh buah dadanya yang mungil.

Sutinah hanya memakai baju kaos tipis dan tidak juga memakai beha. Selama ini dia hanya memakai singlet saja.. Akibat kuyup, teteknya membayang di bajunya, tanpa dia sadari. Aku terkesima dan langsug birahiku bangkit. AKu diam saja, agar tetek itu tetapmembayang di bajunya yang basah.
“Maafkan aku, Mas,” katanya ketakutan. Dia takut aku marah, karena ketidakhati-hatiannya. Aku diam saja dan membenahi jaring untuk kubuang sekali lagi. Sutinah mendekatiku dan mendekapku, sembari kembali meminta maaf. Aku kasihan padanya. Aku balas memeluknya. Kami berpelukan. Kemudian perlahan kembali mengkayuh ke tengah dan menebar jaring yang kedua kalinya. Dua puluh menit kemudian, kami kembali menariknya dan mengangkat puluhan ekor ikan yang ukuran kecil dan menengah. Kami hitung bersama, ada 62 ekor ikan, berkisar 11 kilogram. Kami pun merapatkan perahu ke pulau kecil. Sutinah kuajak ke sebuah pancuran kecil yang mengalirkan air sejuh dari puncak bukit. Kupangil Sutinah untuk mandi. Mulanya dia ragu. Kuseret tangannya. Lalu kubuka pakaiannya.
“Malu Mas” katanya.
“Kamu harus mandi dik. Nanti kamu sakit, air laut lengket di tubuhku,” kataku beralasan. AkhirnyaSutinah mamu membuka bajunya dan bertelanjang. Dia menutupi teteknya dengan sebelah tangannya dan sebelah lagi menutupi memeknya yang belum berbulu sama sekali. Aku juga membuka pakaiankua dan bertelanjang lalu sama-sama mandidi pancuran kecil itu. Aku menyuruhnya cepat, takut kalau ada nelayan lain yang datang. Kemudian aku mencuci pakaiannya yangkena air laut. Setelah memerasnya, memakaikannya kembali. Hari meulai meninggi. Kami takut, ikan kamitak laku, kami pulang ke tepian. Kami naik ke perahu.

Layarakecil, kembali kami pasang agar tak perlu mengkayuh. Kumintaagar Sutinah dekat denganku. Saat perahu berjalan perlahan, kuminta agar Sutinah naik ke pangkuanku. Lagi-lagi Sutinah ragu. Setelahkupelototi, akhirnya dia naik ke pangkuanku. Punggungnya menyender ke dadaku. Perlahan penisku naik. Perlahan celana yang hanya pakai karet tanpacelana dalam itu kupelorotkan ke bawah. Lalu kuangkat Sutinah dan kusingkap rok-nya. Jelas, penisku menempel di belahan pantatnya. Sebelah tanganku memegang kemudi dan sebelah lagi memeluknya. Kumasukkan tanganku ke sebalik baju kaosnya dan mengelus-elus buah dadanya.
“Mas… nanti…”
“Udah… diam saja,” aku setengah membentak. Perahu terus melaju menuju tepian. Menurut perkiraan, akan sampai berkisar satu jam lagi. Secepatnya jika angin kencang, 45 menit.
“Mas… geli…”
“Yah. Mas tahu, geli. Tapi neak kan? Jangan bohong,” kataku. Sutinah diam. Akhirnya Sutinah menggeliat-geliat. Ujung penisku sudah sesekali menyentuh-centuh parit memeknya. Aku merasa nimat sekali. Sutinah pun menunduk-nunduk sepertinya dia mencari-cari agar ujung penisku mengenai klentitnya. Aku mendengar sesekali dia mendesah. Kuciumi lehernya seraya terus meraba pentil teteknya yang masih kecil. Sampai akhirnya aku melepaskan spermaku.

Kami sampai di darat. Ibu sudah menunggu di tepian. Pembeli ikan naik sepeda sudah menungu juga. Akhirnya ikan kami jual. Rp. 83.000,- Ibu tersenyum.
“Rezeki kamu bagus Rin,” kata ibu.
“Ini rezeki Sutinah, Bu,” kataku. Sutinah tersenyum.
“Baguslah. Kalau begitu Besok Sutinah ikut lagi, ya” kata ibu pada Sutinah. Sutinah tersenyum dan menganguk. AKu senang.
“Sutinah harus ikut bu. Biar adatemanku dan Sutinah rezekinya bagus,” pujikupula. Ibu tersenyum.
Di rumah, aku memperbaiki jaring yang koyak dan SUtinah datang.
“Besok akuikut lagi ya, Mas,”kata Sutinah sepertai membujuk.
“Ya.. Tapi seperti tadi ya. Jangan pakai celana dalam dan pakai baju kaos saja,” kataku. Sutinah mengangguk. Aman pikirku.

Jaring kami tabur lagi dan tarik. Kami tabur lagi dan kami arik pula sampai tiga kali. Kami mendapatkan ikan lebih banyak dari kemarin. Aku mengajak Sutinah mandi ke pancuran. Aku sudah membawa sabun mandi. Kami mandi bedua bertelanjang. Sutinah seperti mulai biasa dan tidak malu lagi. Dalam tubuh kami dilamuri sabun, kami berpelukan. Kucium Sutinah, kuemut teteknya sampai Sutinah mengelinjang. Setelah puasmenciuminya, kami cepat memakai pakaian dan naik ke perahu. Perahu-perahu besar sudah lebih dahulu ke darat. Mereka ingin mendahului kami, agar ikan mereka lebih mahal. Aku justru senang, kami belakangan dari mereka. Perlahan aku memasang layar dan perahu melajur perlahan pula. Sutinah seperti tahu sendiri, dia mendatangiku dan naik ke pangkuanku. Aku justru memintanya agar dia menghadapku. Perlahan dia naik mengangkangi kedua kakiku. AKu sudah mengeluarkan penisku yang tegang.
“Pegang titit, Mas. Kenakan ke anu-mu,” perintahku. Sutinah pun memegang penisku lalu ujungnya dia tempelkan ke lubang memeknya. Perahu terus melaju dan gelombang kecil mengayun-ayunkan kami. Gesekan demi gesekan kami rasakan, membuat kami kenikmatan. Sampai akhirnya kami berpelukan dan aku melepaskan sepermaku beberapa kali ke pintu lubang memek Sutinah.
Bibir pantai sudah jelas terlihat. Aku minta Sutinah agar duduk di tengah. Perlahan diabangkit dan duduk di tengah berpegangan pada kedua sisi perahu.

Kami tiba di pantai. Ibu juga sudah menunggu. Pedagang ikan mulai berdatangan. Kebetulan harga ikan naik dan kami menjual ikan seharga Rp.118.000,- Kembali ibu tersenyum dan memuji kami. Aku tetap memuji Sutinah. Sutinah pun tersenyum dan bangga. kamipulang ke rumah setelah menambatkan perahu dan aku pun kembali memperbaiki jaring yang rusak serta memebli benang yang kurang.
Atas pertolongan penyuluh kesehatan yang memasuki desa-desa dan ABRI masuk Desa, akhirnya ayahku mendapat kesempatan untuk berobat gratis ke rumahsakit di kabupaten. Ayah dibawa naik ambulance militer dengan sirene meraung-raung. Sutinah menangis, ketia ayah dibawa naik ambulance itu. Dia memelukku. Ibu menemani ayah ke rumah sakit dengan membawa semua peralatan yang dibutuhkan. Kata mereka setidaknya

ayah harus dipname selama 4 embualn, kemudian harus makan obat teratur dan diawasi. TBC, masih bisa disembuhkan, kata mereka. Kami pun agak lega juga.

Aku dan adikku Sutinah, menyusul ayah dengan naik sepeda. Siang kami tiba di rumah sakit. Ayah dirawat. Tangannya sebelah diinfus. Hidungnya, diberi pernafasan. Kata mereka namanya oksigen. Ayah mulai lega bernafas. Ibu pun dirawat juga dengan diinjeksi dan diberi obat. Kami hanya dua jam di rumah sakity. Setelah itu, kami pulang dan tak lupa membeli peralatan untuk menempel jaring. Kami sempat makan di warung tepi jalan dan makan dengan lahapnya. Pukul 17.00, kami baru tiba di rumah. Aku langsung tidur, karean keletihan mengkayuh sepeda.

Dalam aku tertidur, aku merasakan, kemaluanku seperti dielus-elus. Aku terbangun. Kulihat adikku Sutinah sedang mengelus-elus kontolku.
“Ada apa, SU?” tanyaku.
“Tadinya titit Mas kecil. Lama-lama jadi besar?” kata adikku. Aku tersenyum saja
“Aku laga-laga ke tempikku ya Mas. Seperti di perahu itu?” kata adikku. Aku diam saja dan kembali menutup mataku. Sutinah langsung meniki tubuhku. Kedua kakinya mengangkangi tubuhku. Ditangkapnya kontolku dan dileganya ke lubang memeknya. Kedua lututnya bertumpu pada lantai.
“Tekan yang kuat, Su. Titit Mas, dimasuki ke dalam lubang tempikmu,” kataku. Adikku melakukannya.
“Ah.. Mas. Sakit,” katanya.
“Perlahan-lahan. Nanti lama-lama gak sakit lagi,” kataku. Dia melakukannya, tapi mengataan tetap sakit. Ya sudah.
“Kamu buka bajumu. Kamu telanjang saja,” kataku.
“Nanti dilihat orang,” bisiknya.
“Tak ada yangmelihat. Hanya kita beruda saja,” kataku. AKhirnya Sutinah mau dan melepas pakaiannya sampai telanjang. Aku duduk dan memangkunya. Aku mempraktekkan, bagaimana Lek Parto menjilati pentil tetek isterinya dan menjilati memek isterinya. Isteri Lek Parti menggeliat-geliat kenikmatan. AKu akan buat adikku nikmat, bisik hatiku. Aku juga melepas semua pakaianku. Aku mulai menjilati tetek Sutinah. Pentilnya yang kecil dan teteknya yang kecil. Benar. Sutinah merasa kegelian. Aku minta dia menikmatinya. Sutinah diam, mulai menikmatinya.
“Enak kan?” bisikku.
“Heemmm…” jawab Sutinah.
“Kami pigi ke belakang duku. Cebik tempikmu pakai sabun sampai bersih, gi” kataku.
“Untuk apa Mas?”
“Ikut saja apa aku bilang. Sana…” Sutinah mengikuti saranku. Aku ingin mendengar desahnya, seperti desah isteri Lek Parto. Sekembali SUtinah, aku suruh dia menelentang di lantai berlasakan tikar. Di rumah kami memang tak ada tilam. Sutinah mengikut. Aku mulai menjilati memeknya. Memek yang belum berbulu sama sekali. Memek yang masih ada satu garis dengan bibirnya yang sedikit membentuk.
“Ah…” Sutinah mulai mendesah, setelah lidahku mulai meliuk-liuk pada itilnya.
“Mas…”

“Udah diam saja… Enak kok,” kataku. Sutinah diam dan kembali mendesah-desah.
“Udah Mas. Aku mau pipis… udah,” katanya. Aku meneruskan. Tak mungkin Sutinah berani pipis di mulutku, pikirku. Aku terus menjilati memeknya. Sampai dia menjepit kepalaku dengan kedua kakinya.
“Mas aku pipissss….” Desahnya. Aku terusmenjilatinya sampai akhirnya kedua kakinya melemas.
“Udah mas. Kasihan Suti Mas,” katanya. Cairan kental meleleh di ujung lidahku. Aku memeluknya.
“Maaf Mas. Aku tadi pipis di mulut Mas,” katanya. Aku diam saja. Aku terus memeluknya dan menempelkan kontolku ke tempiknya.
“Kamu masukin titit mas ke dalam mulutmu,” kataku. Sutinah ragu.
“Ayo…” kataku. Sutinah duduk di sisiku dan memegang kontolku. Perlaha dia masukkan kontolku ke mulutnya. Kuminta dia memainkan lidahnya pada kontolku dan giginya jangan sampai mengenai kontolku. Sutinah melakukannya. Aku mengulur tarik kontolku dalam mulutnya. Sampai maniku menumpah di dalam mulutnya beberapa kali.
“Mas..” katanya.
“Kalau kamu gak mau telan, ya dibuang saja,” kataku. Suti pun meludahkan maniku dari mulutnya. Kuraih tubuhnya dan memeluknya sembari menciumi pipinya. Kami bepelukan lagi.
Tak lama Suti mengatakan nasi sudah siap dari tadi dan kami harus makan.

Suti membuat nasi ke piringku dan ke piringnya bersama lauknya.
“Aku seperti ibu ya Mas. Dan Mas jadi bapak,: katanya.
“Ya. Kita main suami-isteri. AKu suaminya dan kamu isterinya?” kataku pula mengikuti ucapannya. Dia tersenyum. Lalu Suti pun menirukan kelakukan ibu kepada ayah kami. Bagaimana ibu memperhatikan ibu dan memperlakukan ayah, begitu pula Suti terhadapku. IBu kami juga memangil Mas kepada ayah dan ayah memanggil bu ne kepada ibu kami. Ketika aku panggi namanya SUti, Suti memintaku agar aku memanggilnya Bu ne, sembari tersenyum. Aku mengikutinya.
“Tapi kalau tak ada yang mendengar ya?” kataku. Suti mengangguk. Aku pun meanggilnya Bu ne. Nampaknya dia senang. Ya sudah.

Malamnya kami tidur untuk besok subuh kami harus melaut. Kami bepelukan.
Subuh Sutimembangunkan aku. Orang-orang sudah berlalu lalang mau melaut. Kami bangun, mencuci muka dan membuka pintu. Kami turun dari rumah melalui tangga. Di bawah rumah kami melepas perahu setelah mengisinya dengan jaring. Perahu memang tertambat di bawah rumah kami yang airnya lebih setinggilutut. Hampir sepinggang. Kami nak ke atas perahu.
“Bu ne, kamu jangan terlalu jauh ke depan, kataku. Dengan senyum Suti mengiikutiku dan berpindah mendekatiku ke belakang sembarimendayung. Kami mengikuti alur air menuju laut tengah. Dengan cekatan setelah berada 50meter di laut, Suti memacakkan tiang layar dan mengikat layarnya. Dia sudah cekatan nampaknya. Tali layar.dia pegang kuat dan mengulurnya sedikit jika perahu oleng. Aku memegang kemudi.
“Bu ne bersandar ke dada Mas ya?” katanya manja. Dia sudah pula menyebut dirinya dengan kata Bu ne. AKu biarkan saja. Hari masih gelap, perahu-perahu kecil berlayar plastik putih keliahatan sudah mulai banyak di tengah laut. Kami mengikutinya dengan menjaga jarak, agar mereka tidak melihat Suti bersandar padaku dengan manja.
“Kita ke tempat biasa ya Mas, “Kata Suti. Aku mengarahkan perahu ke sana. Tapi di sana sudah adadua perahu lebih dulu. Akhirnya kami mengarahkan perahu ke rimbunnya pohon-pohon bakau seperti sebuah teluk kecil. Kami mulai melepas jaring. Kemudian menariknya perlahan. Aku merasakan ikan-ikan bergetar di dalam jaring.
“Hati-hati, nampaknya ikannya banyak,” kataku. Benar saja, ikan menggelpar-gelepar di jaring. Setelah melepas ikan-ikan itu, kami menebar lagi di tempat yang sama. Kami tarik lagi. TIga kali kami menebarnya, kemudian kami keluar dari teluk itu. Kami tersenyum. Tangkapan kami hari ini, lumayan baik.
Kutarik Suti mendekatiku dan kukecup bibirnya, seperti apa yag dilakukan Lek Parto pada isterinya.
“Kamu isap lidah Mas ya. Kita bergantian mengisap lidah,” kataku. Suti menatapku.
“Kamu mau ya Bu ne…” kataku meayunya. Suti tersenyum setiap kali aku memanggilnya Bu ne. Kulurkan lidahku dan Suti mulai mengemutnya. Kami bergantian.
“Ayo sudah. Kita harus cepat ke darat. Nanti pembeli ikan pada pulang,” kataku. Kami memasang layar dan mengarahkannya pulang. Perahu melayu agak kencang, karean angin yang hidup menolak kami ke darat.
Para pembeli ikan menyerbu kami dan kami menjualnya Seorang tentara yang ikut masuk desa mengawasi kami. Pembeli ikan tak berani macam-macam. Kami mendapat uang hampir dua ratus ribu rupiah.
Perahu kami kayuhke kolong rumah dan kami naik ke atas. Aku minta Suti membeli mi goreng dua bungkus dan aku memasak nasi. Begitu nasi masak. Suti sudah pulang dari membeli Mi goreng. Kami makan nasi bercampur mi goreng. Kami makan dengan lahap.
“Kita tidur-tiduran lagi ya, Mas?” kata Suti.
“Sebentar, biar Mas betulin jaring dulu. Setelah siap kita boleh todur. Kalau tidak, nanti kita keasyikan dan lupa memperbaiki jaring,” kataku. Suti merajuk.
“Sabar dong Bu ne…” kataku merayu. Suti tersenyum dan memelukku.
“Iya mas. Bu ne ikut membantu ya?” katanya menyeret tanganku. Kami mengeluarkan jaring dari perahu dan menjemurnya, sembari memperbaikinya.
Atas pertolongan penyuluh kesehatan yang memasuki desa-desa dan ABRI masuk Desa, akhirnya ayahku mendapat kesempatan untuk berobat gratis ke rumahsakit di kabupaten. Ayah dibawa naik ambulance militer dengan sirene meraung-raung. Sutinah menangis, ketia ayah dibawa naik ambulance itu. Dia memelukku. Ibu menemani ayah ke rumah sakit dengan membawa semua peralatan yang dibutuhkan. Kata mereka setidaknya

ayah harus dipname selama 4 embualn, kemudian harus makan obat teratur dan diawasi. TBC, masih bisa disembuhkan, kata mereka. Kami pun agak lega juga.

Aku dan adikku Sutinah, menyusul ayah dengan naik sepeda. Siang kami tiba di rumah sakit. Ayah dirawat. Tangannya sebelah diinfus. Hidungnya, diberi pernafasan. Kata mereka namanya oksigen. Ayah mulai lega bernafas. Ibu pun dirawat juga dengan diinjeksi dan diberi obat. Kami hanya dua jam di rumah sakity. Setelah itu, kami pulang dan tak lupa membeli peralatan untuk menempel jaring. Kami sempat makan di warung tepi jalan dan makan dengan lahapnya. Pukul 17.00, kami baru tiba di rumah. Aku langsung tidur, karean keletihan mengkayuh sepeda.

Dalam aku tertidur, aku merasakan, kemaluanku seperti dielus-elus. Aku terbangun. Kulihat adikku Sutinah sedang mengelus-elus kontolku.
“Ada apa, SU?” tanyaku.
“Tadinya titit Mas kecil. Lama-lama jadi besar?” kata adikku. Aku tersenyum saja
“Aku laga-laga ke tempikku ya Mas. Seperti di perahu itu?” kata adikku. Aku diam saja dan kembali menutup mataku. Sutinah langsung meniki tubuhku. Kedua kakinya mengangkangi tubuhku. Ditangkapnya kontolku dan dileganya ke lubang memeknya. Kedua lututnya bertumpu pada lantai.
“Tekan yang kuat, Su. Titit Mas, dimasuki ke dalam lubang tempikmu,” kataku. Adikku melakukannya.
“Ah.. Mas. Sakit,” katanya.
“Perlahan-lahan. Nanti lama-lama gak sakit lagi,” kataku. Dia melakukannya, tapi mengataan tetap sakit. Ya sudah.
“Kamu buka bajumu. Kamu telanjang saja,” kataku.
“Nanti dilihat orang,” bisiknya.
“Tak ada yangmelihat. Hanya kita beruda saja,” kataku. AKhirnya Sutinah mau dan melepas pakaiannya sampai telanjang. Aku duduk dan memangkunya. Aku mempraktekkan, bagaimana Lek Parto menjilati pentil tetek isterinya dan menjilati memek isterinya. Isteri Lek Parti menggeliat-geliat kenikmatan. AKu akan buat adikku nikmat, bisik hatiku. Aku juga melepas semua pakaianku. Aku mulai menjilati tetek Sutinah. Pentilnya yang kecil dan teteknya yang kecil. Benar. Sutinah merasa kegelian. Aku minta dia menikmatinya. Sutinah diam, mulai menikmatinya.
“Enak kan?” bisikku.
“Heemmm…” jawab Sutinah.
“Kami pigi ke belakang duku. Cebik tempikmu pakai sabun sampai bersih, gi” kataku.
“Untuk apa Mas?”
“Ikut saja apa aku bilang. Sana…” Sutinah mengikuti saranku. Aku ingin mendengar desahnya, seperti desah isteri Lek Parto. Sekembali SUtinah, aku suruh dia menelentang di lantai berlasakan tikar. Di rumah kami memang tak ada tilam. Sutinah mengikut. Aku mulai menjilati memeknya. Memek yang belum berbulu sama sekali. Memek yang masih ada satu garis dengan bibirnya yang sedikit membentuk.
“Ah…” Sutinah mulai mendesah, setelah lidahku mulai meliuk-liuk pada itilnya.
“Mas…”
“Udah diam saja… Enak kok,” kataku. Sutinah diam dan kembali mendesah-desah.
“Udah Mas. Aku mau pipis… udah,” katanya. Aku meneruskan. Tak mungkin Sutinah berani pipis di mulutku, pikirku. Aku terus menjilati memeknya. Sampai dia menjepit kepalaku dengan kedua kakinya.
“Mas aku pipissss….” Desahnya. Aku terusmenjilatinya sampai akhirnya kedua kakinya melemas.
“Udah mas. Kasihan Suti Mas,” katanya. Cairan kental meleleh di ujung lidahku. Aku memeluknya.
“Maaf Mas. Aku tadi pipis di mulut Mas,” katanya. Aku diam saja. Aku terus memeluknya dan menempelkan kontolku ke tempiknya.
“Kamu masukin titit mas ke dalam mulutmu,” kataku. Sutinah ragu.
“Ayo…” kataku. Sutinah duduk di sisiku dan memegang kontolku. Perlaha dia masukkan kontolku ke mulutnya. Kuminta dia memainkan lidahnya pada kontolku dan giginya jangan sampai mengenai kontolku. Sutinah melakukannya. Aku mengulur tarik kontolku dalam mulutnya. Sampai maniku menumpah di dalam mulutnya beberapa kali.
“Mas..” katanya.
“Kalau kamu gak mau telan, ya dibuang saja,” kataku. Suti pun meludahkan maniku dari mulutnya. Kuraih tubuhnya dan memeluknya sembari menciumi pipinya. Kami bepelukan lagi.
Tak lama Suti mengatakan nasi sudah siap dari tadi dan kami harus makan.

Suti membuat nasi ke piringku dan ke piringnya bersama lauknya.
“Aku seperti ibu ya Mas. Dan Mas jadi bapak,: katanya.
“Ya. Kita main suami-isteri. AKu suaminya dan kamu isterinya?” kataku pula mengikuti ucapannya. Dia tersenyum. Lalu Suti pun menirukan kelakukan ibu kepada ayah kami. Bagaimana ibu memperhatikan ibu dan memperlakukan ayah, begitu pula Suti terhadapku. IBu kami juga memangil Mas kepada ayah dan ayah memanggil bu ne kepada ibu kami. Ketika aku panggi namanya SUti, Suti memintaku agar aku memanggilnya Bu ne, sembari tersenyum. Aku mengikutinya.
“Tapi kalau tak ada yang mendengar ya?” kataku. Suti mengangguk. Aku pun meanggilnya Bu ne. Nampaknya dia senang. Ya sudah.

Malamnya kami tidur untuk besok subuh kami harus melaut. Kami bepelukan.
Subuh Sutimembangunkan aku. Orang-orang sudah berlalu lalang mau melaut. Kami bangun, mencuci muka dan membuka pintu. Kami turun dari rumah melalui tangga. Di bawah rumah kami melepas perahu setelah mengisinya dengan jaring. Perahu memang tertambat di bawah rumah kami yang airnya lebih setinggilutut. Hampir sepinggang. Kami nak ke atas perahu.
“Bu ne, kamu jangan terlalu jauh ke depan, kataku. Dengan senyum Suti mengiikutiku dan berpindah mendekatiku ke belakang sembarimendayung. Kami mengikuti alur air menuju laut tengah. Dengan cekatan setelah berada 50meter di laut, Suti memacakkan tiang layar dan mengikat layarnya. Dia sudah cekatan nampaknya. Tali layar.dia pegang kuat dan mengulurnya sedikit jika perahu oleng. Aku memegang kemudi.
“Bu ne bersandar ke dada Mas ya?” katanya manja. Dia sudah pula menyebut dirinya dengan kata Bu ne. AKu biarkan saja. Hari masih gelap, perahu-perahu kecil berlayar plastik putih keliahatan sudah mulai banyak di tengah laut. Kami mengikutinya dengan menjaga jarak, agar mereka tidak melihat Suti bersandar padaku dengan manja.
“Kita ke tempat biasa ya Mas, “Kata Suti. Aku mengarahkan perahu ke sana. Tapi di sana sudah adadua perahu lebih dulu. Akhirnya kami mengarahkan perahu ke rimbunnya pohon-pohon bakau seperti sebuah teluk kecil. Kami mulai melepas jaring. Kemudian menariknya perlahan. Aku merasakan ikan-ikan bergetar di dalam jaring.
“Hati-hati, nampaknya ikannya banyak,” kataku. Benar saja, ikan menggelpar-gelepar di jaring. Setelah melepas ikan-ikan itu, kami menebar lagi di tempat yang sama. Kami tarik lagi. TIga kali kami menebarnya, kemudian kami keluar dari teluk itu. Kami tersenyum. Tangkapan kami hari ini, lumayan baik.
Kutarik Suti mendekatiku dan kukecup bibirnya, seperti apa yag dilakukan Lek Parto pada isterinya.
“Kamu isap lidah Mas ya. Kita bergantian mengisap lidah,” kataku. Suti menatapku.
“Kamu mau ya Bu ne…” kataku meayunya. Suti tersenyum setiap kali aku memanggilnya Bu ne. Kulurkan lidahku dan Suti mulai mengemutnya. Kami bergantian.
“Ayo sudah. Kita harus cepat ke darat. Nanti pembeli ikan pada pulang,” kataku. Kami memasang layar dan mengarahkannya pulang. Perahu melayu agak kencang, karean angin yang hidup menolak kami ke darat.
Para pembeli ikan menyerbu kami dan kami menjualnya Seorang tentara yang ikut masuk desa mengawasi kami. Pembeli ikan tak berani macam-macam. Kami mendapat uang hampir dua ratus ribu rupiah.
Perahu kami kayuhke kolong rumah dan kami naik ke atas. Aku minta Suti membeli mi goreng dua bungkus dan aku memasak nasi. Begitu nasi masak. Suti sudah pulang dari membeli Mi goreng. Kami makan nasi bercampur mi goreng. Kami makan dengan lahap.
“Kita tidur-tiduran lagi ya, Mas?” kata Suti.
“Sebentar, biar Mas betulin jaring dulu. Setelah siap kita boleh todur. Kalau tidak, nanti kita keasyikan dan lupa memperbaiki jaring,” kataku. Suti merajuk.
“Sabar dong Bu ne…” kataku merayu. Suti tersenyum dan memelukku.
“Iya mas. Bu ne ikut membantu ya?” katanya menyeret tanganku. Kami mengeluarkan jaring dari perahu dan menjemurnya, sembari memperbaikinya.
Sudah dua hari ayah pulang dari rumah sakit. Dia harusbanyak istirahat. Tidak boleh inum alkohol, kopi, merokok dan keluar malam. Makan obat harus terus diawasi dan dipaksa, jika ayah menolak. Demikian nasehat dokter.
Setelah seminggu ayah di rumah, ternyata aku dan adikku Suti, sudah tak tahan lagi. Malam ini, Suti meraba kemaluanku. Tentunya setelahmendengar ayah ngorok dan tertidur pulas. Tempat tidur kami, hanyaq dibatasi

oleh tirai kain. Aku meliriknya dan memeluknya. kami berciuman. Suti membuka kainnya dan menyodorkan teteknya padaku untuk aku hisap dan jilati. Aku melakukannya dan aku sudah tak tahan lagi. Aku pelorotkan celanaku sampai lepas dan Suti juga melepaskan kain sarungnya. Dengan cepat SUtimenaiki tubuhku dan menggoyangku dari atas. Kurangkul tengkuknya dan kubisikka padanya agar pelan-pelan. Jangan sampai ibu dan ayah mengetahuinya. Mulanya Suti mengikutinya, tapi nampaknya laranganku dilanggar lagi, sampai dia puas dan lemas.

Mulai aku membelaikkan tubuh. KIni aku sudah berada di atas tubuhnya. Perlahan kupompa tubuh Suti dan menindihnya dari atas, sembari menicumi bibirnya dan lidah kami berpautan. Aku sudah semakin memuncak dan aku juga tak mampu bergerakpelan. Kugenjot tubuh Suti dengan kuat sembari memeluknya. Saat itu, betisku dicubit. Aku melihatnya ke belakang. Oh.. ibu yang mencubit betisku. Tapi kenikmatanku sudah berada di atas da aku meneruskan memompa tubuh Suti, sampai kami sama-sama menikmati kepuasan. Lalu kami berpelukan dan memakai pakaian kami sembari tidur.

Ibu membangunkan aku dan Suti. Ibu mengajakku untuk sama turun ke laut. Sedang Suti, tiba waktunya harus ke sekolah. Aku mengangkat jaring dan memasukkannya ke dalam perahu. Baru saja kami mengkayuh perahu dan belum mencapai bibir laut, ibu bertanya kepadaku.
“Tadi malam kamu dan Suti ngapain? Dia kan adikmu. Sejak kapan kamu dan Suti melakukan itu,” tanya ibu. Mulanya aku diam. Ibu terus mendesak agar aku memberikan jawaban. Ibubenar-benar marah. AKu takmampu menjawab pertanyaannya.
“Sejak kapan, tole,” desak ibu.
“Sejak ibu dan ayah ke rumah sakit,” jawabku menunduk sembari terus mengkayuh. Kami pun tiba di bibir pantai. Aku memasang layar. Ibu berusia 37 tahun dan gtubuhnya yang mungil, ntapi marahnya segunung. Akhirnya ibu diam saja. Aku juga diam.

Aku membuang jaring ke laut dan ibu ikut membantunya melepas jaring-jaring itu. Hari ini, memang rezeki kami sangat mujur. TIga kali kami membuang jaring, ikan-ikan demikian banyak kami tangkap. Rata-rata ukuran sedang. Saat nelayan lain sudah pada pulang, kami masih menarik jaring.
“Kita kemana?” tany ibu, sat perahu kubawa ke tepi pulau kecil.
“Mandi Bu. JUga makan. Kita makan di sini sana, lebih teduh dan enak,” kataku. Perahu merapat ke pantai dan aku langsung menuju pancuran. Aku membuka seluruh pakaianku bertelanjang aku menadah air pancur yang sejuk di kepalaku. Aku tahu ibu datang dari belakang, tapi aku pura-pura tidak melihatnya. Ibu menunggu aku siap mandi. Gantia kami mandi di pancuran itu. Ibu pun mandi telanjang juga setelah di memintaku untuk berjaga-jaga. Aku mengintipnya. Tubuh ibuku, membuat aku nafsu sekali.
Selesai ibu mandi, kami makan bersama di tepi pancuran itu, sembari melihat perahu kami yang tertambat. Kontolku masih saja menegang dan aku secepatnya makan. Ibu juga mengikutinya, karea hari sudah pukul 07.00. Kami harus sampai pukul 08.00 di pantai agar pembeli ikan tidak keburu pulang.

Saat ibu mengangkat kakinya, dari celana pendek yang dipakai dan longgar, aku mengetahui ibu tidak memakai celana dalam. Aku melihatnya tadi waktu dia memakai celana. Kurangkul ibu dri belakang.
“Ada apa, Tole?” tanya ibu perlahan. Aku diam saja. Ibu bertanya kembali, karean pelukanku belum lepas. Perlahan kutarik ibu ke sebuah batu besar yang agar ceper. Langsung kupeluk ibu. Ibu meronta dan melawan. Dia sangat berang dan marah. Aku sudah tak perduli. Kusentap celananya sampai lepas dan aku juga dengan cepat melepas celanaku. Ku peluk ibuku dan kuciumi lehernya. Ibu tetap meronta dan menolakku. Tapi aku sudah berada di antara kedua kakinya dan kumasukkan kontolku ke memek ibu. Perlahan kudorong. Saat kuraba, memek ibu sudah basah dengan air kental. Cepat aku sadar, kalau ibu sudah nafsu juga. Kusorong pelan-pelan kontolku ke lubang memeknya dan secepat itu, kontolku lenyap di dalam memeknya. Aku molau memompanya,walau ibu terus menerus meronta bahkan mearik rambutku dengan kuat. Aku semakin tak perduli. Terus memeluknya, menciumi lehernya dan memompa tubuhnya dengan lebih cepat. Aku merasa jambakan tangan ibu di rambutku sudah melemah. Aku terusmemompanya dan menciumi lehernya. Sampai akhirnya aku memeluknya kuat dan menekan sekuat-kuatnya kontolku ke dalam dan melepaskan beberapa kali spermaku di dalamnya. Saat itu, aku merasakan ibuku balas memelukku, walau malu-malu. Saat aku mau mencabut kontolku, saat itulah ibu memelukku da menahan pantatku. Aku urung menarik kontolku. Yang kudengar mulut ibu mendesis-desis dan akhirnya dia melepas pelukannya.

“Kamu memang anak kurang ajar. Biadab sekali kamu,” bentakibu pdaku sembari menangis.
“Sudah bu, Maafkan aku,” kataku sembari memeluknya. Ibu meronta.
“Jangan!” bentak ibu. Aku membujuknya, sampai akhirnya ibu diam dan aku membimbingnya ke atas perahu.
“Jangan sampai terlang lagi!”: bentak ibu. AKudiam. Kupasang tali layar dan perlahan aku mengkayuhnya. Kumintaibu duduk dekat denganku dibelakang, agar haluan perahu terangkat sedikit dan perahu kami bisa berjalan dengan cepat. Ibu mendekat. Akhirnya tubuh ibu kukepit dengan kedua kakiku. Kontolku walau dari balik celana tertempel ke punggung ibuku. Kedua tangan ibu sengajakubimbing berada di paha kiri dan kananku. Saat perahu perlahan berlayar dan laut sepi, karena semua nelayan sudah berada di tepian pantai, aku takmampu menahan kontolku yang sudah tegang dan keras. Dengan sebelah memegang kemudi, sebelah lagi tanganku kumasukkan ke kaos ibu dari atas dan aku meremas tetek ibu dengan lembut.
“Ah.. ada apa lagi…” kata Ibu meronta, sampai perahu oleh.
“Ibu diam. Kita akan terbalik nanti,” kataku.
“Kamu ini bagaimana? Apa kamu tidakmengerti jangan diulangi lagi, Mengerti!” bentak ibu. Tapi aku terusmeremas tetek ibu. Bergantian. Aku sengata membawa perahu melalui sela-sela pohon bakau agar teduh dan sepi. Cepat kulorotkan celanaku dan melorotkan celana ibu.
“Aduh gusti, kamu ini….!!!” Aku tak perduli. Kuangkattubuh ibu ke atas pangkuanku, walau dia membelakangi tubuhku dan kami sama-sama menghadap ke depan. Aku tahu, ibu sudah berbulan-bulan tidak bersetubuh. Cepat kucelupkan kontolku ke lubang memek ibu.
“Akh… ” kata ibu. Tapi kontolku sudah berada di dalam. Perahu terus berjalan dengan santaidalam tiupan angin yang sepoi.
“Aduh.. bagaimana ini Tole,” tanya ibu padaku.
“Ibu diam saja. Kita akan cari waktu yang baik, kita ke pulau dan kita akan memuaskan diri kita dengan tenang,” katraku merayu.
“Biadab kamu !” bentaknya. Suara desau angin dan ombak-ombak kecil membuat perahu bergoyang-goyang. AKu memeluk ibu dari belakang dengan sebelah tangan dan…
“Ibu… aku mau sampai. Sebentar lagi, aku akan mencabutnya. Tenanglah…” kataku.
“Dioam kamu biadab. Coba kamu cabut. Tunggudulu,” bentak ibu. Aku diam dan memeluk erat tubuh ibu serta melepaskan spermaku.
“Sudah, Bu. Aku sudah sampai,” kataku lirih.
“Tungu. Jangan kamu cabut dulu. Kurang ajar kamu,” bentak ibu lagi. AKu diam saja. Sampai akhirnyaibumendesah dan diamencabut sendiri kiontolku yang sudahlemas. Ibu memakai kembali celananya. Aku juga. Kami terus menuju pantai. Pembeli masih ada yang menunggu kami membeli ikan. Ikan kami jual dan kami kembali ke rumah kami.
Aku segera mengangkat jaring ke bawahpohon kelapa 50 meter dari rumah dan memperbaikinya, ibu mempersiapkan makan siang untuk kami sekeluarga. 
Ibu membawakan segelas kopi panas padaku dan dua buah pisang goreng dan meletakkannya dekatku. Ibu ikut membenahi jaring-jring, agar besok kami pakai lagi. Ibu duduk di dekatku.
“Awas ya… kalau kamu bercerita kepada siapa saja. Kubunuh kamu..” ancam ibu. Aku tersenyum.
“Bukannya menjawab, malah tersenyum,” kata ibu membentak dengan suara tertahan, takut di dengar orang lain.


“Ya… pasti aku tidak bercerita apa-apa,” kataku tenang. Ibu pun tersenyum. Ayo cepat dibenahi, biar kita cari kerang dan kepiting,” kata ibu.
“Aku buatkan teh manis dyulu dan botol. Cepat masukkan jaring ke dalam perahu,” kata ibuku. Aku mengikutinya. Jaring kusimpan ke dalam perahu dan memasukkan jala serta memasyukan alat-alat penangkap kepiting juga. Saat aku melepaskan perahu dari tambatannya di bawah kolong rumah kami dan meyorongnya ke aliran air yang agak dalam. Ibu berjalan sampai ke pantai. AKu tahu, dia akan menaiki perahu di sana, karena aliran sungai kecil, masih dangkal. Aku menjalankan perahu dengan menolak galah ke dasar lumpur. Bukan mengkayuhnya.

Begitu aku tiba di tepian laut, ibu tersenyum menyambutku. Ibu cepat naik ke perahu dan ikut mengkayuh. Orang-orang maklum. Mereka tahu, kalau kami butuh banyak uang untuk menyekolahkan adikku Suti dan mengobati ayahku. Kami harus bekerja keras. Orang-orang kapung pun kagum melihat kerja keras kami. Satu jam lebih kami mengkayuh dan sambil bercerita. Ibu banyak bertanya tentang Suti dan menasehatiku, agar jangan sampai hamil. Kami akan mendapat malu sekampung, katanya. Aku setuju. Tapi aku minta ibu harus rela juga, kalau sekali seminggu, aku membawa Suti ke pulau bakau untuk menangkap kepiting. Alasanku menangkap kepiting, tapi ibu sudh mengerti maksudku, agar Suti juga mendapat giliran. Ibu diam tan membantah.

Sampai di tempat kami menjatuhkan sepuluh buah alat penangkap kepiting ke laut dengan umpan usus ayam, entah darimana ibu mendapatkannya. Aku memasang juga sepuluh buah pancing dengan umpannya dan menancapkannya ke beberapa tempat, untuk memancing ikan sembilang. Kini iabu yang turuna ke lumpur untuk meraba lumpur mendapatkan kerang. Orang-orang berseliweran. Melihat kami sudah berada di tempat memasang jerat kepiting dan mengembangkan jaring, perahu-perahu itu pun berlalu. Sesekali terdengar teriakan. Udah dapat banyak belum….? Aku menjawabnya dengan sambil lalu:” baru turun paaaakkk.” Mereka pun berlalu, bahkan banyak yang pulang, karean kosong tak dapat apa-apa. Ibu mengantarkan beberapa keranjang kecil kerang ke atas perahu. Di akar bakau, ibu mengelus kontolku. Tangannya dia masukkan dari atas karet celanaku.
“Bu, hati-hati, nanti aku jatuh, ” kataku. Ibu tersenyum. Kontolku cepat mengeras. Ibu menurunkan celanaku sampai ke mata kaki. Aku berpegangan ke pohon bakau dan menungghingkan dirinya.
“Ayo cepat… ibu sudah tak tahan. Cepat!” katanya. Aku menyodokkan kontolku perlahan ke lubang memeknya.
“Ayo.. yang dalam… dalam lagi,” katanya. Aku memeluk tubuh ibu dan mengocok kontolku dalam memeknya. Tiba-tia tersengar suara desir air. Pasti perahu yang datang. Aku mencabut kontolku dengan cepat. Menaikkan celanaku dan ibuku juga menaikan celananya dengan cepat. Dia melangkah ke atas perahu dan mengambil sebotol teh manis dan membawanya ke akar-akar pohon bakau. Saat teh tertuang ke dalam gelas, perahu kecil itu lintas. Sebuah perahu kecil.
“Suti….” panggil ibu. Ternyata yang datang ke tempat kami adalah Suti menaiki perahu tetangga tanpa cadik. Suti tersenyum dan menepi. Dia naik ke akar bakau dan membawa beberapa potong goreng sukun. Kami memakannya dengan riang. Ibu menatapku dengan tajam. Dia tandatanya, kenapa Suti harusmenyusul. Apakah Suti sudah curiga?

Setelah meneguk beberapa teguk teh manis, ibu kembali meraba lumpur berpura-pura mencari kerang dan meninggalkan, kami. Aku menyibukkan diri mendekati bebetrapa pancing yang kupasang. Ada dua pacing yang bergoyang-goyang. Aku menariknya dengan cepat. Ya… dua ekor ikan sembilang trangkat dan kulepas dari pancing serta memasukkannya ke dala perahu.
“Kapan kita berdua ke tempat ini?” tanya Suti.
“Kitabuat jadwal setiap minggu pagi dan mingu sore. Saat kamu tidak sekolah dan latiha pramuka,” kataku.
“Benar ya, Mas…” pintaSuti setengah berbisik.
“Benar..” aku janji, kataku.
“Kalau begitu Suti pulang ya…” Suti pun pulang meninggalkan tempat itu. Saat itu ibu datang setelah mencuci tubuhnya yang berlumpur dengan air laut yang bening. Dia mendatangiku ke akar bakau.
“Suti bilang apa?”
“Dia minta jatah. Kapan aku bersamanya?” kataku berterus terang. Aku menceritakan pada ibui, setiap minggu pagi dan minggu sore atau kalau SUti tidak latihan pramuka dan kalau ibu berhalangan.
“Kamu tidak bercerita apa-apa tentang kita kan?” tanya ibu. Menurutku inilah kesempatanku.
“Tidak bu. Tapi nampaknya Suti curiga. Untuk itu, dia harus dapat kesempatan. Kalau tidak dia akan membuntuti kita terus,” kataku berpura-pura. Ibu menjawabku dengan memberiku ciuman di pipiku.
“Kamu anak pintar tole…” kata ibu dan meremas kontolku lagi. Suara-suara burung bercicit-cicit di atas dahan-dahan bakau dan sesekali mereka berkejaran. Ibu melepaskan celananya dan kini dari pusat sampai ke bawah, telah telanjang. Tubuhnya masih padat dan bulukemaluannya sangat tipis membuat belahan memeknya jelas terlihat. Aku bersandar ke pohon bakau. Ibu langsung menaiki tubuhku. Aku berada di antara kedua kakinya. Ibu memasukka kontolku ke lubang memeknya sampai masuk semuanya. Aku memeluknya dan menaikkan baju kaosnya, sampai kedua teteknya tergantung. Mulutku menghisap-hisapnya. Ibu terus memutar-mutar tubuhnya, hingga terasa kontolku menyentuh-nyentuh lubang terdalam dari memeknya. Dan ibu histeris dengan lenguhannya yang kuat dan memelukku kuat sekali.
“Ibu sudah sampai,” kataku. Ibu diam saja dan terus memelukku. Kni giliranku menghenjut-henjutnya dari bawah. Sampai aku melepaskan spermaku. Kami berpelukan dan melepaskan nikmat kami. Akhirnya, kontolku lepas dari lubang memek ibu. Ibu tersenyum. Dia menaikkan celananya dan aku juga. Kami megangkati jerat-jerat kepiting. Ada beberapa yang dapat dan ada yang masih korong. Kami menjatuhkannya kembali. Jaring yang kutebar perlaha kutarik dan ada beberapa ekor ikan kecil yang dapat. Cukup utuk lauk makan kami malam ini dan untuk bekal besok subuh.

“Bagaiamana? Apa kamu dapat menikmatinya?” kata ibu. Aku diam saja.
“Ya.. pasti Suti lebih nimmat, kan?” katany aketus dan cemburu. Aku diam juga.
“Kalau kamu merasa sudah longgar, ibu akan berikan yang lebih sempit dan lebih enak,” kata ibu.
“Bagaimana bisa sempit?” kataku.
“Apa kamu mau?” tanya ibu. Aku mengangguk. Ibu dengancepat menurunkan celanaku dan memasukkan kontolku ke mulutnya. Kontolku dijilatinya. Wah.. aku belum pernah merasakan nikmatnya dikulum seperti itu. Setelah kontolku keras, ibu melepas celananya dan dia menunggingkan tubuhnya dan berpegangan ke pohonbakau.
“Ayo masukkan itu mu ke lubang belakang ibu,” katanya. Aku seperti tak yakin.
“Ayo cepat. Nanti orang datang,” katanya. Aku menusukkan kontolku ke mulut lubang belakangnya. Kutusuk lubang belakang itu dengan kuat. Kepala kontolku sudah menembusnya.
“Perlahan saja. Berhenti sebentar,” kata ibu. Lalu aku menusuknya kembali. Setelah setengah kontolu masuk ke lubang belakangnya, aku merasa kontolku dipijat-pijat. Aku mearasa nikmat.
“Ayo ditusuk terus,” kata ibu. Aku menusuknya.dan mencabutnya. Bagaikan aku menusk dan mencabut di lubang memeknya.
“Kalau mau keluar, keluarkan di lubang memek ib,” pinta ibu. Aku memeluknya dari belakang sembari terus mencucuk cabut kontolku di lubang yang nikmat itu. Sebelah tangan Ibu meraba-raba memeknya.
“Bu.. aku mau keluar…”
“Cepat cabut dan masukkan ke lubang memek ibu,” katanya. Aku mencabutnya dan dengan cepat aku mencucuknya ke lubang memeknya. Aku memeluknya dan melepaskan spermaku di dalam lubang memeknya. Ibu pun kembali histeris dengan nimmatnya.
“Bagaimana… enak kan?” tanya ibu. Au tersenyum.
Kami menarik semua jerat peiting. ada yang kena ada yang kosong. Kami harus pulang, sebelum matahari terbenam. Ibu naik ke perahu dan kami sama menaikkan layar, karena angin masih dari laut ke darat. Kami berlayar dengan perasaan kami masing-masing.

“Kapan-kapan, aku boleh melihatmu bersama Suti?” tanya ibuku.
“Bagaimana caranya, Bu?”
“Kita bertiga ke bakau ini dan aku berpura-pura mencari kerang di seberang sembari meilhat orang. Kalau aku bernyanyi-nyanyi, itu pertanda ada orang. Kalau tidak kamu boleh teruskan dan ibu akan mengintip,” kata ibu. Gila pikirku. Aku diam memikirkannya.
“Tapi kalau Suti mengintip kita, boleh enggak?” tanyaku.
“Suti tak boleh tau. Bisa bahaya,” kata ibu. Aku berpikir. Ya… Suti tak boleh tau.
“Bagaimana?” tanya ibu mendesak. Sebuah desakan yang susah kujawab. Diam-diam, aku mencintai Suti adikku sendiri. Aku menyayanginya. Akhirnya aku pu setuju, kalau ibu boleh melihat aku denganSuti, supaya satu saat nanti ibu muak dan dia tak mau lagi bversetubuh denganku. AKu setuju. Ibu pun tersenyum. Kami sampai di rumah dan membawa hasil kami untuk dimasak untuk makan malam. Suti ikut membantu membersihkan ikan sembilang dan kepiting disimpan untuk besok pagi di jual. Cukup untuk membeli dua kilo beras.
Ibu sangat puas mengintip aku dan Suti berciuman mesra dan saling membelai. saling mengulurkan lidah. Aku menjilati teteknya dan megelusnya. Sutri berada di pangkuanku dan kami berpelukan dengan mesra dan saling mebelai. Aku tahu, ibu mengintipku dari belakang Suti. Aku tahu ibu berahi mengintip kami. Aku tahu ibu meraba memeknya. Ibu juga tahu, kalau aku sangat meikmati persetubuhanku dengan Suti dan sampai
akhirnya aku membuang kondom ke laut. Aku yang menjagadiri dengan SUti, kalau tidak nampaknya Suti mau nempel terus dan bermanja terus. Aku hanrus menjaga mata orang-orang kampung.

Saat Suti sekolah, aku mendengar pertengkaran kecil ibu dan ayahku.
“Kpk kamu bisa hamil, Bune…” kata ayah.
“Lho kok bisa hamil? Pertanyaanmu kok aneh. Apa kontolmu tidak mausk ke puki-ku?” tanya ibu tak kalah sengit.
“Tapi aku kan pakai kondom?” kata ayah.
“Ya enggak tau. Kita tanya saja petuigas KB,” kata ibu. Tak lama kebetulan bu Ningsih petugas KB dari kecamatan lewat di lorong rumah kami. Aku melihatnya dari atas perahu di kolong rumah. Aku mendengar percakapan mereka. Bu NIngsih mengatakan,
“Mungkin konromnya bocor, jadi bisa hamil. Kalau hamil ya sudah, soalnya kan Sutinah sudah SMP jadi sudah bisa hamil lagi,” kata bu Ningsih. Ayah pun diam. Ibu pun dengan kasar membentak ayah setelah bu Ningsih pergi.
“Tuh… jadi jangan tanya-tanya kenapa aku bisa bunting. Yang jelas yang bikin aku bunting, kontolmu sendiri,” kata ibu sangat sengit dan ketus, membuat ayah terdiam tak berkutik. Bahkan tersenyum. Ayah tau, kalau ibu ke laut , aku yang menemani. Yang ayah tak tau, kalau ibu hamil karena aku.

Ayah turun dari rumah menuju kedai kopi dan main catur di sana setelah ibu meaksanya minum obat. Saat ibu mau naik ke rumah, aku memanggilnya. Ibu datang dan naik ke perahu di kolopng rumah.
“Benar ibu hamil?” tanyaku. Ibu mengangguk.
“Ibu takut membuangnya,” jawab ibu.
“Kenapa dibuang, Bu?”
“Karena dalam perut ibu adalah anakmu. Bukan anak ayahmu,” jawab ibu berbisik. Aku diam.
“Kalau nanti harus menyanginya, karean dia anakmu. Ini rahasia,” kata ibu. Aku menganguk. Tak pernah terpikir, aku akan punya anak. Kutatap wajah ibu dan ibu menatap wajahku dengan senyum. Ibu tahu aku limbung dan tak menyangka akan punya anak.

“Tapi kau harus terus menerus menyiraminya,” kata ibu.
“Menyiram bagaimana bu?” tanyaku.
“Kita harus terus menerus ngentot, bodoh,” kata ibu ketus.
“Kenapa?”
“Kalau tidak, nanti di dalam perut anakmu sakit,” kata ibu. Aku mengangguk. Aku berpikiran, kalau orang hamil harus terus menerus disetubuhi. Aku diam. Aku haruspandai-pandai menguasai keadaan agar Suti tidak cemburu. Padahal kalau boleh, aku justru ingin punya anak dari Suti.

“Suti mana?” tanya ibu. AKu amenjelaskan, kalau Sutibaru saja pergi latihan pramuka ke sekolahnya.
“Ayo cepat. Kamu naik dari pintu belakang dan aku dari pintu depan. Kamu harus menyirami anakmu,” kata ibu. Aku cepat meningalkan perahu. Aku tak ingin anakku sakit dalam perut ibu. Cepat kututp pintu. Ibu juga menutup pintu dari depan. Ibu langsung ke dapur menemuiku dan memelukku. Aku juga memeluknya. Ibu menyumpalkan teteknya ke mulutku.
“Buat aku seperti Suti,” kata ibu. Aku mengisap-isap dan merabai tetek ibu.
“Ya.. kamu harusisap, supaya nanti air susu ibu banyak dan anakmu bisa menyusui dengan lahap dari tetek ibu,” bisik ibu. Aku mengiyakan dan melakukan apa yang dikatakan ibu.

Kedu tetek itu kuisap dan kujilati bergantian. Kuremas dan kubelai-belai. Sampai aku sudah meloighat ibu melepaskan pakaiannya. Ibu menidurkan tubuhnya di lantai. Aku melepas celanaku juga dan menindih ibu dari atas. Ku buka kedua paha ibu dan kutusukkan kontolku ke lubang memeknya. Ibu menari tengkukku dan menyedot-nyedot bibirku. Aku menjulurkan lidahku. Kami saling mengisap lidah.
“Oh… kalau dari dulu aku mengathu begini… Kenapa ayahmu tak pernah melakukannya,” kata ibu.
“Ayah hanya melakukan apa, Bu?” tanyaku.
“Ayahmu hanya tau menusuk memek ibu dan menusuk belakang ibu, kalau ibu lagi haid,” katanya. Oh….
Aku terus menggenjotnya dan terus menusuknya. Dlam dan sangat dalam sekali. Ibu menggelinjang dan memelukku dengan kuat.
“”Ayooo… toleee… diteruskan. Ibu sudah mau sampai.. terus nak…” kata ibu. Aku terus menggenjotnya dari atas. Aku menekan kuat tubuh ibu dan ibu memelukku. Kami sama-sama menikmatinya.
“Ayo… buruan… nanti ayahmu pulang…” Aku menggenjotnyaslebih cepat lagi. Leboh cepat lagi dan lebih cepat lagi. Crooottt…croootttt….crrrooooottttt…. Spermaku memenuhi lubang memek ibu dan kami berpelukan denga erat. Kii aku menyadari, bahwa aku juga sudah semakin menyayangi ibu, walau rasa sayangku lebih besar pada adikku Suti.
Kontolku keluar dari memek ibu karena mengacil. Aku bangkit. Ibu pun duduk membenahi celananya. Saat itulah terdengar ketukan di pintu depan. Ayah berteriak memanggil untuk dibukakan pintu.
“Kamu keluar dari pintu belakang langsung ke atas perhau,” kata ibu. Aku mendekati pintu dapur. Saat ibu melangkah ke depan dengan langkah yang kuat di atas lantai papan itu, aku membuka pintu dapur dan melangkahke bawah kolong dan naik ke prahu.

“Kenapa pintu dikunci? Mana anakmu?” tanya ayah.
“Di bawah membenahi jaring,” kata ibu.
“Kebnapa akutidak lihat?” tanya ayah.
“Karena matamu memang tuidak melihat,” jawab ibu ketus. Ayah turun ke korlong rumah. Dia mendapatiku tertidur didalam perahu. Saat ayah mau mendekat, aku pura-pura ngorok. Aku mendengar ayah melamgkah naik ke rumah.
“Wah… dia ngorok,” kata ayah.
“Biarkan dia ngorok. Dia letih sekali. Dia telah menggantikan kedudukanmu mencarimakan. Seharusnya kau banga pada anak laki-lakimu itu,” kata ibu.
“Ya… dia sangat muda menggantikan diriku,” kata ayah sedih. Ayahpu mengembangkan sajadah untuk melaksanakan shalatnya. Aku benar-benar tertidur saat adzan mahgrib berbunyi dari pengeras suara masjid, aku terbangun. Aku memenag letih, bukan mengakayuh perahu, tapi mengkayuh ibu agar anakkubisa aku sirami.

Sehabis makan malam, aku duduk di teras rumah. Ayah dan ibu sudah tertidur, demikian juga Suti. Tak ingin aku membangunkan Suti. AKu hanya memeluknya dan mengcup pipinya dengan sejuta sayang.
Mas kenapa tidak menyayangiku lagi, tanya Suti sepulang sekolah. Aku gagap menjawabnya. Aku jugamerasa, kalau Suti seperti tertinggal. AKu mengetahuinya, kalau Suti suka sendiri dan menyendiri.
“Mas, apa mas tidak sayang sama Suti lagi, ya?” tanyanya dengan rengekan.
“Siapa bilang Mas tidak sayang. Mas, harus kerja keras mendapatkan uang, utnuk sekolahmu, agar kamu
terus sekolah tinggi. Mas rela kerja keras untuk itu. Apa namanya itu bukan sayang?” tanyaku pula. SUti mengengguk.
“Tapi Mas sudah tidak pernah mengajakku lagi ke laut mencari ikan. Ibu saja yang mas bawa,” katanya mereajuk.
“Itu juga karena ibu sayang kamu. Dia tidak mau sekolahmu terganggu,” kataku.
“Tapi mas dan ibu tidak gituan, kan?” tanya Suti menyelidik.
“Apa kamu sudah gila SUti. Dengan ibu sendiri,” kataku pula setengah membentak. Suti diam dan menyadari kesalahannya. Suti lalu memelukku dan menyandarkan kepalanya dibahuku dengan manja. AKu memeluknya dan SUti mendongakkan kepalanya, lalu aku menciumi bibirnya dan kami berciuman mesra. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Ibu memasuki rumah. Kami cepat-cepat berpisah. Suti turun dari pintu belakang dan aku duduk di lantai. Ibu tersenyum.
“Kedatanganku menggangu ya?” sindir ibu. Aku diam.
“Tapi ibu juga harus memberikan kesempatan kepada Suti. SUti juga butuh…” kataku. Ibu tersenyum.
“Ya.. sudah, bawa dia melaut. Hati-hati jangan sampai ketahuan orang,” kata ibu. Aku langsung turun ke bawah menemui Suti dan mengajaknya melaut, karean Sabtu sore itu, Suti tidak ke sekolah latihan Pramuka dan tidak ikut les. Suti senang sekali kuajak ke laut. Kami membawa peralatan penjerat kepiting.

Kami sama-sama mendayung perahu ke tengah laut menuju pulau kecil. Kami sama-sama berkeringat. Saat kami di tengah laut, kami berpapasan dengan nelayan lainnya.
“Sudah gelap, bakal turun hujan deras…” seorang nelayan berteriak.
“Ya.. Pak. Kami hanya memasang jerat kepiting dan akan langsung pulang. Besok pagi akan kami angkat,” jawabku dengan suara keras.

Begitu selesai memasang jerat kepiting, huja turun dengan deras disertai oleh petir. Kami cepat-cepat ke pulau kecil dan menambatkan perahu, lalu kami berlari ke dalam gubuk yang ada di pulau kecil itu. Sebuah gubuk kecil beratap rumbia dan berdindingkan anyaman daun kelapa. Kami duduk di bangku-bangku kecil yang ada di sana. Tiba-tiba petir menyabung lagi dan kilatnya menyambar-nyambar.
“Mas…aku takut,” kata Suti. Dia naik kepangkuanku dan memelukku. Aku juga memeluknya. Lama kami saling berpelukan.
“Mas… aku mau,” kata Suti berbisik.
“Kita tidak bawa kondom. Nanti kamu hamil dik. Jangan ya,” kataku.
“Jadi bagaimana dong Mas?”
“Biar Mas jilati saja ya…” bisikku. Suti diam saja. Kuangkat baju kaosnya dan kulepaskan tali bra-nya. Aku mengisap-isap perlahan teteknya. Kujilati lehernya dan kuelus-elus pantatnya dalam pangkuanku.
“Mas… aku mau. Aku mau mas…” rengeknya.
“Nanti amu hamil dik. Jangan ya,” kataku.
“Tidak mas… dua hari lagi aku akan haid. Pingangku sudah mulai sakit,” katanya. Oh… aku tidak menyadari, kalau adikku sudah pintar menandai haidnya.

Kuturunkan dia dari pangkuanku, Kulepas celananya. Hujan masih terus turun dengan derasnya. Aku juga melepaskan celanaku. Kami berdua setengah telanjang. Kuminta Suti kembali naik ke pangkuanku. Dia sudah tau tugasnya. Suti naik kepangkuanku. Perlahan dia tangkap kontolku dan memasukkannya ke memeknya. Suti menekan tubuhnya, agar kontolku tertelan oleh memeknya.
“Oh…Kandas, mas,” katanya.
“Ya.”

Kami berpelukan dan bibir kami terus menempel. Lidah kami tak hentinya berkaitan dan kami saling memeluk dan saling mengelus-elus tubuh kami berlawanan dengan sapuan-sapuan mesra.
“Mas… benar tidak melakukan ini sama ibu, kan?” tanya SUti masih mengandung curiga.
“Kamu jangan mengada-ada,” kataku.
“Kabarnya ibu hamil mas,” kata Suti.
“Ya.. kenapa kalau hamil. Kamu kan juga dengar, kalau malam itu mereka begituan juga,” kataku.

Suti Diam. Dia terus memelukku dan perlahan-lahan mengoyangkan tubuhnya. Dia memutar-mutar pinggangnya dan aku terus mengisapi teteknya yang mungil denganpentil yang kecil.
“Andaikan kita tidak bersaudara ya Mas,” kata Suti.
“Kenapa?”
“Kalau kita tidak bersaudara, kita akan pacaran. Kalau SUti tamat sekolah,. kita menikah<’ katanya.
“Hus… jangan pikirkan itu. Nanti kamu harus menikah dengan laki-laki lain,” kataku.
“Nanti kalau Suti sudah menikah dengan lak0-laki lain, kita tidak bisa seperti ini lagi,” katanya.
“Siapa bilang. Bisa dong. Kita akan buat pertemuan rahasia,” kataku meyakinkan dan Suti tersenyum sembari terus mengoyang-goyang pinggangnya.

Suti pun memeluk erat tubuh ku. Nafasnya sudah terenagh-engah. Oh…. Suti meleguh seperti lembu.
“Aku sudah sampai mas,” katanya. Aku tetap memel;uknya dan membiarkan dia berada di pangkuanku. Aku tahu, SUti sudah lemas. Kubiarkan dia diam di atas pangkuanku. Aku tetap memeluknya dan membelainya. Kontolku masih tetap tegang dan keras dalam memeknya.
“Mas… sayanag Suti, kan?” bisiknya.
“Ya.. aku tetap menyayangimu,” kataku merayunya.
“Mas jangan pernah lakukan ini pada ibu ya?” ulangnya lagi.
“Kamu jangan mengada-ada dik. Jangan mengada ada,” kataku.
“Benar ya Mas…”
“Benar. Dia ibu kita,” kataku mengandung penyesalan. Suti mencium leherku dan mendengus di sana. Terasa nafasnya hangat di leherku. Gairahku muncul. Aku memelukkan kedua tangankua ke pantatnya dan menarik maju-mundur, agar kontolku keluar masuk di memeknya.
“Terus mas… enak….” katanya. Aku meneruskannya. Suti memelukkan kedua tangannyake tengkukku dan mulai menempelkan bibirnya dan lidah kami kembali bertautan.
“Ayo mas… ayo mas. ayoooo…” katanya. Kulihat nafsunya demikian menggebu-gebu. Aku terus menggoyangnya dan terus mencucupi bibirnya dan suara hujan semakin lama semkin menderas saja. Sesekali suara petir menggema dengan didahului oleh kliat dengan lidahnya yang menyambar-nyambar. Pada suara petir yang ketiga, aku memeluknya dengan kuat dan Suti juga memelukku dengan kuat. Saat itu, aku melepaskan speermaku beberapakali ke dalam memeknya.
“Maaaasssss….ohhhh….”
Aku terus e\memeluknya dengan kuat dan membelai-belai kepalanya.
“Enggak pakai kondom lebih enak lo Mas,” katanya.
“Kenapa?”
“Entah. Rasa lendirnya lebih nikmat. Kalau gak pakai kondom, lendirnya gak terasa,” kata Suti tersenyum.
“Ya… kita haruspakai kondom, kecuali kalau kau dua hari lagi mau haid,” kataku.

Kontolku mengecil dan lepas dengan sendirinya dari memek Suti. Kuturunkan tubuh Suti, seiring dengan hujan mulai mereda. Malam sudah tiba dan langit makin hitam. Angin mulai rada juga.
“Kita pualng Mas. Aku takut,” kata Suti.
“Ya. Kita pulang”
Kami memakai pakaian kami dan mendekati perahu lalu naik ke atasnya. Aku melepaskan ikatan tali perahu dan kami mengkayuh ke darat. Di darat, kami sudahmelihat kerlipan lampu=lampu dari desa kami. Kami memacu dayungan kami. Jangan sampai hujan datang semakin deras lagi dan angin menderu-deru. Di bawah siraman hujan rintik kami mendayung dan mendayung perahu kami tanpa kenal lelah.

“Mas… aku masih mau,” kata Suti.
“Besok lagi. HUjan nanti deras dan angin nanti kencang, Kita harus segera tiba di rumah dan ganti baju, biar besok amu tidak sakit,” bujukku. Suti tersenyum dengan semangat dia mendayung perahu dengankuat dan perahu kami melaju dengan kencang.

Setiba di rumah, kami langsung mengganti pakaian kami dengan yang kering dan kami menyantap makanan yang sudah tersedia. Aku memberikan sebuah tablet obat flu, agar Sutio tidak sakit dan aku jugam enelan sebutir obat itu. 
Saat kami makan dengan lahapnya, ibu tersenyum dari sebuah sudut saat mata kami bertatapan. Aku mengerti apa arti senyumannya dan arti tatapannya. Terlebih tanpa sadar, aku menyuapkan sepotongikan ke mulut Suti dan Suti menerima dengan mulutnya, ketika aku menyodorkannya ke mulutnya. uti pun makan dengan bahagia.


Usia makan Suti mencuci piring bekas piring makan kami. Saat itu itu ibu datang mendekatiku dan berbisik.
“Kamu jangan lupa giliranmu menyirami bayi dalam kandunganku,” katanya. Aku mengangguk. Yah… sudahkepalang. Dalam perut ibu ada bayiku. Kata ibu yang sudah berpengalaman, aku harus terus menerus menyiraminya, kalau aku tak mau bayiku sakit dalam perut. Aku terkejut. Tiba-tiba saja, ibu mengelus kontolku dari balik celana. Dalam keterkejutanku, ibu malah tersenyum.
“Tadi dia sudah makan kenyang tuh,” sindir ibu. Aku mengerti maksudnya. Kontolku sudah makan kenyang dari memek Suti. Aku tersenyu kecil.
“Siapa yang kenyang, Bu,” tanya Suti menyahut dari belakang.
“Mas mu. Dia sendawa, berarti makannya kenyang,” kata ibu di dapur. Aku jelas mendengarnya.

Tiga hari setelah kejadian itu, aku didatangi ibu di dapur. Pagi itu, ayah pergi ke kecamatan. Katanya ada pertemuan partai yang mau kampanye. Ayah diundang oleh calegnya. Suti sekolah. Ibu langsung meraba kontolku dari balik celanaku. Pagi yang hangat itu, aku benar-benar jadi nafsu. Langusng kupeluk ibu dan mencium bibirnya dan aku mempermainkan lidahku dalam mulutnya. Ibu membalasnya. Kuinta ibu berjongkok.
“Untuk apa?” katanya. Aku hanya menatapnya dengan mataku aku meminta ibu mengikuti apa yang kumau. Ibu pun berjongkok. Kukeluarkan kontolku, lalu kusodorkan ke mulut ibu.
“Hisap bu,” kataku. Ibu sempat melihatku. Lalu kontolku dipegangnya, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.
“Aduh, Bu. Jangan kena gigi ibu, sakit,” kataku. Ibu berusaha agar gigibnya tidak mengenai kontolku. Aku merasa nikat sekali.
“Bagaimana Bu? Enak juga kan?” kataku. Ibu ku diam saja.

Ku minta ibu berlutut dan meungging. Ibu melakukannya. Kusingkap rok-nya. Ibu yang tidak memakai celana dalam kukangkangkan. Kumasukkan pelat-pelan kontolku ke lubang memeknya. Perlahan aku enusuknya dan perlahan pula aku menariknya.
“Bagaimana, Bu?” kataku.
“Enak. Teruskan,” katanya. AKu mencucuk tarik kontolku di dalam lubang memek ibu. Ibu mendesah-desah, bagaimana anjing yang baru saja usai berlari jarak jauh. Sampai akhrinya, aku melepaskan spermaku di dalam memek ibu.

Perut ibu semakin membesar. Ibu sudah tak mungkin lagi ut ke laut. Jika sore Suti tidak ikut latihan pramua atau les, Suti selalu menemaniku ke laut. Tentu dengan nasehat, hati-hati, jangan sampai Suti hamil dan jangan sampai ada yang tahu. Aku mengangguk. Aku pun melaut bersama Suti. Selalu saja, aku ketinggalan kondom. Suti juga tidak mengingatkan dan malah Suti sangat menginginkan aku tidak memakai kondom. Kami justru bersetubuh denga leluasa tanpa pengaman. Tanpa sadar, Suti hamil dalam usia 15 tahun. Aku sempat panik juga. Kalau digugurkan, bagaimana mengatakannya kepada ibu dan bagaimana mengatakannya kepad adokter yang akan menggugurkannya. AKhirnya aku dapat akal. AKu mengteahui kalau Amir suka mencuri-curi pandang kepada Suti. Dan beberapa kawan-kawan Suti suka mengolok-olok Suti dengan Amir dan Suti biasanya tertunduk malu, tapi Amir malah bangga dan senang.

AKu mulai meyakinakn SUti, kalau dia harus membawa Amir ke pulau ini, kemudian merayunya dan melakukan persetubuhan dengan Amir. Mulanya Suti tidak mau, atpi aku terus meyakinkannya, kalau kami tak mungkin menikah. Dengan perasaan berat, SUti akhirnya mau juga. Aku lebih dahulu ke pulau kecil dan mengendap di balik pohon bakau. Tak lama perahu kecil dinaiki oleh AMir dan Suti muncul. AKu sembunyi di balik pohon bakau yang lebat. AKu melihat AMir mulai merayu Suti. Usia mereka hanya selisih 4 tahun. Mereka pun berciuman. Saat itu Suti yag sudah lincah dan pintar mulai mengelus-elus kontol Amir. Amir membalas mengelus-elus memek Suti dan Amir melepaskan celananya. Perlahan pula Amir melepas celana Suti yang tidak memekai celana dalam. Perlahan Amir menindih Suti di atas perahu dan memasukkan kontolnya ke dalam memek Suti. Aku melihat dengan jelas, Amir menggenjot Suti dari atas sampai perahu terangguk angguk. Sampai akhirnya mereka merenggang dan Suti menangis. AKu mendengar Amir membujuknya dan memeluk Suti dengan tulus. Kejadian itu terulang berkali-kali atas petunjukku. Sampai akhirnya, aku meminta dikawani oleh dua orang tua mencari perahu yang dipakai Amir dan Suti. Kami mengendap-endap dari balik pohon bakau. Kami bertiga melihat Suti digenjot oleh Amir.
“Bagaimana. Kita tangkap basah,” kata salah seorang orangtua itu.
“Terserah. Tapi aku di sini saja. AKu malu,” kataku. Mereka memakluminya. AKhirnya kedua orangtua penduduk kampung kami memergoki mereka dan menyergapnya. Saat mereka menyergapnya aku puilang sendiri. Dari kejauahan aku melihat mereka membawa Suti dan Amir ke kampung dan aku sudah lebih dahulu sampai. Aku hanya tertunduak saja, saat keduanya dibawa ke rumah kepala desa. Kedua orang tua kami diundang datang dan semua diberitahukan.

Aku katakan, aku tak mau persoalan ini diperbesar-besar. Aku meinta agar mereka dinikahkan saja. Mulanya ayahku uring-uriongan. Tapi aibuku membentaknya dan aku menyetujui mereka menikah. Akhirnya, kedua orangtua Amir setuju mereka dinikahkan, karena ibu AMir sudah lama menyenangi adikku Sutinah.

Sore itu, beberapaorang di desa itu diundang, termasuk kepala sekolah Suti. Kepala desa memohon, agar Suti diperkenankan mengikuti ujian, minggudepan agar mendapat ijazah. Kepala sekolah setuju. Mereka dinikahkan dan ayahku menjadi walinya. Aku tertunduk. Saat mata Suti melirikku, aku tersenyum dan Suti tersenyum sembunyi-sembunyi.

Malam itu juga, Amir pindah ke rumah kami dan di rumah tirai pembatas di pasang. Aku tidur di dapur. Setelah sebulan, Suti mulai muntah-muntah. Hampir seluruh dengan mengathui kalau SUti hamil. Orangtua Amir sangat senang. Bahkan ada yang mengatakan,.Amir itu laki-laki perkasa. Begitu nikah langsung hamil. Tapi ada yang mengatakan. kalau Amir dan Suti diam-diam sudah lama melakukan hubungan suami isteri secara diam-diam. Semua memaklumi. Begitulah kalau des pantai.

“Ini anak Mas, Kan?” kata Suti berbisik. Aku mengangguk. Dalam hatiku, kalau setahu ini, aku akan mendapatkan dua orang anak sekali gus. Sati dari ibu dan satu dari adikku Suti.

Orang-orang kampung datang ke rumah kami, setelah tujuh hari ibu melahirkan seorang bayi laki-laki. Selamatan dibuatkan kecil-kecilan. Bacakan namanya. Ayaku senang ssekali atas kelahiran bayi mungil itu. Dalam usianya yang tua, orang brkata, kalau ayahkju masih hebat. Ayah pun dengan busung dada sangat bangga dikatakan demikian.

Duabulan setelah itu, giliran Suti melahirkan. Dia meraung-raung. Maklum anak pertama. Aku sangat gelisah akan keselamatan adikku Suti. Ada penyesalan dalam diriku. Ibu bidan desa terus menerus menemani Suti yang masih muda belia itu. Akhirnya aku mendengarkan suara tangisan bayi yang memecah hembusan angin senja. Bayi laki-laki kata ibu bidan. Aku pun lega. Ku dengar tangisan Suti langsung terhenti. Ibu pun sangat sibuk mengambil air dalam waskom. Bayi dibersihkan.

Setelah semua selesai, kami satu-persatu bergantian diberikan kesempatan m,enyalami Suti. Pertama Amir, kedua orangtuanya, ayahku dan terakhir aku. Aku mencium pipi SUti. Suti memelukku kuat dan meneteskan air mata. Aku juga.
“Selamat ya dik…” kataku.
Suti meraih tengkukku dan membisikkan ke telingaku.
“Bukan dik. Bune…” katanya berbisik.
“Aku mendekarkan mulutku ke telinganya dan megatyakan:” Selamat ya bune…”
Suti tersenyum di balik wajahnya yang masih pucat. Aku juga tersenyum. Semua menyaksikannya. Lalu ibuku angkat suara.
“Aku bahagia sekali. Anak laki-lakiku, sangat menyayangi adiknya Suti. Demikian juga Suti sangat menyayangi kang Mas-nya. Maklumlah, selama ini hanya ada mereka berdua, sebelum adik Suti laghir,” kata ibuku dengan sedikit bangga atau dibangga-banggakan.
Semua ikut memuji kami, aku dan SUti
TAMAT